Sulung Calmero kini sedang berdiri termenung di balkon kamar. Memperhatikan Luca di bawah sana, yang sedang sibuk mengompres memar di wajahnya. Hela nafas terdengar, Gio lantas memangut dagu. Perseteruan keluarga Calmero tidak bisa di anggap gampang. Konflik di dalamnya melibatkan emosi serta dendam berkelanjutan. Gio memahami sisi dibalik sikap keabu-abuan Fran.
Apalagi jika teringat bagaimana perubahan sikap Luca yang begitu drastis --setidaknya, itu menurut Gio yang sebelumnya mengira Luca sebagai yang paling terluka di sini. Gio menggeleng, mengenyahkan pikiran-pikiran liar jika saja Luca kembali menyakitinya tiba-tiba. Kejadian kemarin saja sudah cukup membuatnya gemetaran, antara takut juga terkejut.
"Fran, kenapa belum bersiap-siap, kita sudah menunggumu."
Gio terkesiap, segera berbalik badan dan menatap kearah pintu dimana Rose berjalan masuk mendekatinya. Tatapan tajam Rose sangat mendominasi hingga Gio tidak dapat mengenal atau bahkan dia tak akan menyangka, jika anak kecil yang memeluk adiknya dan menyaksikan kematian kedua orang tuanya itu merupakan Rose serta Vio.
"Aku akan bersiap sebentar lagi kak. Hanya saja, aku sedang memikirkan sesuatu," ungkap Gio. Dia pun segera berdiri. Gio sudah mandi, jadi hanya berganti baju sudah cukup untuknya.
"Baiklah.. Kami tunggu dibawah." Setelah memastikan Gio berganti baju, Rose kembali keluar.
Sebelum turun, Gio memperhatikan dulu penampilannya di cermin. Pemuda itu mengenakan kemeja putih bersih dan celana jeans biru, sesekali menarik nafas berusaha terlihat setenang mungkin. Setelah cukup yakin, ia keluar dari kamarnya dan bergabung dengan keluarganya di ruang tamu.
"Sudah siap?" tanya Antonio dengan senyum tipis.
Gio mengangguk. "Ya, sudah siap."
Ale mendekat dan memeluk Gio. "Aku akan merindukanmu, Bang Fran," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Gio membalas pelukan itu dengan lembut. "Abang juga akan merindukanmu, Ale. Jaga diri di sana, ya."
"Hey, masih ada waktu sebelum Ale berangkat. Kenapa kalian malah berpisahan disini," celetuk Rafa tak tau kondisi dan situasi.
Ale menatap tajam Rafa. "Ganggu banget sih!" dia kesal.
"Kakak itu drama banget. Nanti di bandara mau nangis-nangis lagi sama bang Fran," ledek Rafa dan bersedekap dada.
Ale hendak menjawab, tapi Kavin lebih dulu menyahut.
"Tapi suara tangisan siapa ya yang Kak Kavin dengar semalem?"
Ale mengernyit, begitu juga yang lain. Menatap penasaran pada Kavin. Kecuali bungsu Calmero, yang kini gelagapan dan melotot ke arah Kavin.
"Kenapa ada yang menangis?" Tanya Salva tegas. Wanita itu selalu mengkhawatirkan putra putrinya lebih dari apapun.
Kavin terkikik. "Tenang mom. Itu Rafa semalem, dia nangis karena sedih mau ditinggal Ale." Ungkapnya langsung mendapat toyoran si bungsu.
"Enggak ya! Fitnah itu!" Rafa mengelak.
Sementara Ale dan Gio saling bertatapan sejenak. Keduanya lantas mencondongkan kepala, mengerling jahil pada Rafa yang semakin dibuat gelagapan.
"Apa kalian?" Sengak Rafa
Rose dan Vio tertawa melihat itu, begitupun Antonio yang tersenyum tipis sembari geleng-geleng kepala.
"Oh begini ya ekspresi sedih ditinggal kak Ale? Utututu adekku sayang." Kata Ale, membuat Rafa merasa di ejek.
"Gimana gimana nangisnya? Coba ulangi, Abang pengen lihat." Tambah Gio semakin membuat bibir Rafa mengerucut panjang.
"Ayo dong, pengen lihat nih. Muka menggemaskan adik bungsu kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung - END [ Terbit ]
Teen FictionColaboration with @Khofifah11092000 Jangan salah lapak.. Beberapa karya dihapus untuk kepentingan penerbit. Giovanni, pemuda sederhana dengan pemikiran sederhana. Giovanni merupakan seseorang dengan pribadi yang mudah berteman dengan siapapun. Dia...