Bab 21.

4.7K 522 92
                                    


"Jadi kau sudah menyadarinya?" Tanya Rose. Wanita itu menyelipkan rambut Gio di daun telinga. Namun Gio dengan cepat menepis.

Ia risih. Sepertinya, satu-satunya kesamaan Gio dengan Fran hanyalah tak suka jika disentuh-sentuh oleh wanita seperti ini.

Gio yang duduk tepat di tengah-tengah antara Rose dan Vio itu kini menoleh penuh ke arah Rose. "Kak, apa alasan kalian mempertahankan Luca di sini?" Tanyanya. Bohong jika Gio tidak takut. Ancaman dari Luca cukup mengusiknya.

"Orang tuanya sendiri yang menyerahkannya. Dia sudah menetap di Calmero sejak kecil. Hingga kejadian kelam itu terjadi."

"Tapi apa menurutmu, Daddy mu itu akan melepaskan mereka meski sudah mendapatkan ganti Lio? Tidak. Lio tidak terganti. Dan Daddy mu tetap membunuh mereka. Lalu Luca, dijadikan sebagai__"

"Pelampiasan?" Sambung Gio, menebak lebih dulu.

Rose mengangguk. Menepuk puncak kepala Gio. "Dia memang terlahir untuk menanggung dosa keluarganya Fran. Kau tahu, setiap aku dan Vio merindukan orang tua kami, hanya dengan menyiksa Luca, kami bisa tenang. Seolah kami bisa membalaskan dendam mereka."

Gio menghela nafas. "Tapi tidak seharusnya kalian memperlakukan nya seperti itu hingga sekarang. Dendam akan berlanjut jika tidak ada pihak yang mau mengalah."

Vio berceletuk menjawab ucapan Gio. "Lalu, menurutmu.. Dengan apa kita melampiaskan rasa sakit kita, Fran? Kita juga tersiksa, hidup tanpa orang tua itu menyakitkan." Gio mengatupkan mulut, karena perkataan Vio benar adanya. "Siapa juga yang mau pasrah dengan rasa sakitnya."

"Tapi kita sudah membunuh keluarga Luca?"

Rose mengelus rambut Gio. Dia mengerti mengapa sepupunya ini beradu argumen dengan topik berat yang selama ini selalu keluarganya tutupi. "Kami menerima lebih dari apa yang mereka terima."

Gio memandang Rose. "Kak, Luca semakin liar. Tidakkah kita harus berhenti sampai disini. Tidakkah kita harus berdamai?"

"Kami tidak akan berhenti sampai dia menyadari kesalahannya Fran," jawab Rose.

"Alih-alih menyadari kesalahannya, dia malah mengancam akan membunuhmu. Bukan kah dia pantas menerima semua ini?" Sahut Vio

"Kalau begitu, kenapa kita tidak memberitahunya saja?"

Rose dan Vio kompak berdecih.

"Sudah, sisi lain dirinya sudah tau dan bahkan mengingat itu. Tetapi namanya juga sudah keturunan iblis. Selamanya akan menjadi iblis." Vio jadi kesal sendiri membayangkan wajah Luca.

"Lagi pula, itu lebih baik jika Luca mengelak fakta-fakta yang sudah kami beberkan padanya. Karena dengan begitu, Luca akan semakin tersiksa batinnya. Aku semakin bahagia melihatnya menderita baik fisik maupun mentalnya." Rose berujar dengan senyum mengembang lebar.

"Kau benar kak. Apalagi fakta mengenai dia bukan anak kandung Mommy Salva." Vio dan Rose saling berpandangan, lalu tertawa keras bersama. "Ingat bagaimana ekspresi shocknya? Ah aku yakin, pasti dia terguncang sekali."

"Kau benar. Menyenangkan sekali melihatnya seperti itu."

"Lain kali, ayo kita bermain-main lagi dengannya. Pasti akan sangat seru karena sisi lain darinya semakin mendominasi. Aku merindukan ia yang bisa melawan dan memberontak."

Gio reflek bergidik. Menurutnya, baik Calmero maupun Luca, tidak ada yang waras baginya. Hanya ia yang waras di sini. Tapi sial, ia sudah terlanjur terjebak dalam lingkaran iblis Calmero. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti alur hidup Fran yang sudah ditakdirkan.

"Hei, kenapa kau diam saja?" Tanya Rose, meraih dagu Gio untuk dibawa menghadapnya.

"Aku hanya merasa tidak ada yang benar di sini."

"Memang. Kau dari dulu selalu merasa seperti itu. Makanya sikapmu selalu acuh pada kami."

Gio mengangguk setuju dengan ucapan Rose. Ia ingat tentang sikap Fran yang asli dulu.

"Tapi kak, kita tidak boleh gegabah. Aku takut jika Luca akan benar-benar mencelakai Fran," kata Vio.

"Tidak perlu mencemaskanku. Lakukan sesuka kalian. Aku bisa menjaga diriku sendiri," sahut Gio. Pemuda itu lantas beranjak pergi. Meninggalkan dua wanita itu dengan gelengan tak habis pikir.

Maju salah, mundur pun salah.

Memihak Calmero salah, memihak Luca pun salah.

Semuanya serba salah!

"Lama-lama bisa gila aku!"

***

Gio tengah sibuk, fokusnya terpecah antara komputer dan kertas di tangannya. Tangan satunya lincah memencet tombol keyboard dan mengetik sesuatu disana. Sejak usai makan malam, Gio memutuskan untuk bekerja saja supaya pikirannya sedikit tenang.

"Wah, ini akan menjadi kerja sama yang bagus," Katanya setelah melihat kerja sama antara perusahaan Antonio dan perusahaan sebelah. Antonio benar-benar pandai mencari rekan dan keuntungan.

Tok

Tok

Ruang kerjanya di ketuk, Gio menyuruh siapa saja yang mengetuk untuk masuk tanpa melihat. Minatnya sekarang pada data tentang keuntungan serta berapa banyak kerugian pada kerja sama yang baru saja dia baca.

"Bang, aku membawakan kopi untukmu. Maaf untuk yang tadi siang," ujar Luca. Dia datang membawa segelas kopi. Menyodorkan kepada Gio dengan wajah sendu dan sesal.

Mendengar suara Luca, Gio mendongak. Sedikit tersenyum merasa dejavu. Dia mengambil kopi lalu berkata. "Terima kasih, aku memang membutuhkan minuman ini agar bisa begadang."

Luca sedikit malu, melirik-lirik Gio yang akan meminum kopi buatannya. Wajah sendu serta bersemunya berubah. Senyumnya menjadi senyum seringai.

"Rasanya pas di lidah abang." Gio pun berdiri dan mengusak rambut Luca.

Namun tak berselang lama, Gio merasakan kantuk yang teramat sangat. Pijakannya sedikit goyah. Tangannya reflek memegang pinggiran meja, menyangga tubuhnya yang bisa saja limbung. Ia menggeleng, mengernyit mengamati Luca.

"Apa yang kau berikan pada Abang Luca?" Tanya Gio lirih.

Luca tersenyum teduh. "Hanya obat tidur. Aku sedih melihat Abang terlalu bekerja keras. Aku harus membuat Abang bisa istirahat kan?" Kata Luca, menuntun Gio menuju sofa di sudut ruang kerja.

Gio yang sudah tak berdaya itu tak dapat lagi mengelak. Ia benar-benar mengantuk. Sekuat apapun ia menahan agar kelopak matanya tak menutup, tetap saja berakhir gagal. Hingga saat dirinya sudah direbahkan Luca di sofa. Ia hanya berharap, semoga ini bukanlah kematian keduanya.

Luca tersenyum puas, dia mengamati wajah damai abang nya. Mengelusnya dari kepala hingga leher. "Seharusnya abang hanya merhatiin aku. Dari dulu, aku tidak menginginkan apapun. Aku hanya ingin perhatian abang."

"Setelah sekian lama, abang berubah dan perhatian padaku." Senyum lembut terpatri di wajah manis Luca. Sedetik kemudian berubah menjadi raut marah. Mencengkram rahang Gio membuat si empu mengernyit dalam tidur.

"Tapi abang malah kembali mengalihkan diri dariku!" ujarnya dengan geraman. "Padahal, aku sudah menyingkirkan Lio agar perhatian abang sepenuhnya padaku!"

"Aku sudah mengingat semuanya sekarang. Tentang siapa aku sebenarnya. Jadi bang, aku sudah tidak mengharapkan Daddy dan Mommy, toh mereka memang bukanlah orang tuaku."

Luca melepaskan cengkeramannya. Saat ini, dia benar-benar sadar apa yang dia lakukan. "Aku hanya butuh abang. Jadi, jangan alihkan perhatian abang dariku."

Tubuhnya ia condongkan agar lebih dekat pada Gio. Berbisik di telinga pria itu dan berkata. "Karena kalau aku tidak bisa dapat perhatian abang, maka yang lain pun tidak boleh." Itu murni ancaman. Karena Gio tidak boleh mengabaikan dirinya.

Gio mengernyit dalam tidur sebagai respon atas ucapan Luca.






To be continued...




Sejauh ini, kalian tim Luca atau Gio, atau malah Carmelo?

Sulung - END [ Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang