Bab 12.

5.3K 535 84
                                    


BRAK.


Salva melempar tongkat baseball yang dipakainya memukuli Luca ke sembaranh arah. Wajahnya merah padam, nafasnya memburu keras, rahangnya mengetat hingga urat-urat dileher indahnya bermunculan.

Salva sungguh murka. Status menjadi seorang Ibu yang selalu ia banggakan itu, kini terasa menyesakkan setelah mendengar ungkapan dari Ale. Baru kali ini ia disalahkan. Baru kali ini ia merasa begitu kecewa dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak melahirkan anak bodoh seperti Luca sejak awal.

Salva berteriak lantang. Menyuarakan kekesalannya dengan menatap Luca tanpa iba.

Di pojok ruangan, Luca meringkuk dengan darah yang keluar dari mulutnya. Salva memukuli perut remaja itu tanpa ampun. Sama sekali tak memberikan kesempatan untuk Luca menghindar. Salva kalap, seolah tak ada lagi jiwa keibuan dalam dirinya.

Rintihan lirih lolos dari bibir Luca. Tenggorokannya tercekat dan lagi-lagi memuntahkan darah. Mata yang hanya sanggup terbuka segaris itupun tak mampu lagi sekedar mengucap kata maaf andalannya.

Jemari Luca bergetar. Ingin sekali ia menenangkan Mommynya yang tampak sekali frustasi. Menggapai dan merengkuh tubuh Salva lalu mengucap maaf beribu-ribu kali karena telah lancang lahir dari rahim wanita itu. Sungguh, Luca juga turut sakit mengetahui Mommynya di salahkan oleh Ale hanya karena telah melahirkannya.

"Kenapa menatapku seperti itu?!" Salva kembali emosi. Ia amat muak melihat sorot sayu yang selalu diperlihatkan Luca.

"Kau juga akan menyalahkanku karena sebagai ibu selalu tega menghajarmu?"

Luca tak sanggup menjawab. Setiap kali mencoba bicara, nafasnya hanya akan semakin memberat. Ia berusaha menggeleng. Mengatakan pada Mommynya, bahwa ia sama sekali tak menyalahkan Salva. Ia sadar, ia pantas menerima ini semua.

"Semua ini karena ulahmu sendiri, Luca! Semua ini karenamu!!!"

Luca memejamkan mata. Bentakan dari Salva seolah tamparan yang bertubi-tubi menghujaminya. Ia menangis dalam diam, meratapi kehidupannya yang selalu saja menjadi penghalang kebahagiaan keluarganya.

Lalu, ketika sekali lagi ia mendapat tendangan dari Salva sebelum wanita itu melenggang meninggalkannya. Luca tak lagi berusaha menjaga sadarnya. Membiarkan kegelapan, perlahan melumat seluruh cahaya pada retinanya.

Tuhan... aku berharap, aku tak perlu membuka mata lagi setelah ini.

.


Dengan nafas memburu, Gio berteriak keras. Memanggil siapapun dirumah sakit. Tidak peduli jika teriakannya menganggu pasien yang lain.

"DOKTER! DOKTER!! SIAPAPUN!" teriak Gio. Wajahnya sudah basah karena air mata. Dia tak sanggup melihat keadaan mengenaskan adiknya.

Tadi, ketika ia hendak mengambil air minum di dapur --setelah bangun tidur. Ia melihat Salva yang menaiki tangga dengan wajah ketara marah. Gio jadi teringat adiknya Luca.

Untuk itu, ia segera menuju ke gudang, dan betapat terkejutnya ia saat mendapati Luca dengan keadaan seperti ini.

"DOKTER!"

Beberapa orang berpakaian serba putih dan biru muda itupun segera berdatangan. Membawa alih tubuh ringkih Luca dari gendongan Gio lalu meltakkannya di atas brankar. Dengan gesit para petugas medis mengecek seluruh tanda vital Luca. Menutup sebagian wajah malang itu dengan ambu bag untuk membantunya tetap bernafas.

Gio di sisi brankar memegang tangan Luca sembari merapal doa. Mengikuti para petugas medis yang mendorong brankar Luca menuju ruang operasi. Ada pendarahan di organ dalam Luca sehingga harus segera ditangani.

Sulung - END [ Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang