Bab 19.

4.7K 477 80
                                    


Beberapa hari telah berlalu, tak seperti biasanya, mansion Carmelo lebih sering diisi oleh tawa. Kavin, Ale, dan Rafa tak pernah absen memberi celetukan-celetukan random mereka. Apalagi Ale akan berangkat ke Amerika beberapa hari ke depan. Jadi keluarga itu sering menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama sebelum berjauhan dengan gadis cantik itu.

Walau sebenarnya, bagi Antonio, Salva, dan Gio tawa mereka hanyalah kedok untuk menguatkan diri. Berusaha memberikan rasa nyaman kepada ketiga 'krucil' Carmelo itu melalui kehangatan dalam kebersamaan. Meski di sela-sela itu, ada Gio yang mati-matian menyembunyikan kegelisahannya. Menutup rapat segala rasa tak mengenakan yang kerap kali singgah di hatinya.

Apalagi seperti saat ini. Ketika ia melihat presensi Luca yang melintas di ruang keluarga. Menoleh ke arahnya dengan tatapan yang sulit Gio artikan.

Ia sadar betul bahwa akhir-akhir ini Gio jarang sekali memperhatikan Luca. Berinteraksi dengan anak itupun hanya melalui sorot mata. Namun bukan berarti ia tak melakukan apa-apa untuk Luca. Ia selalu berusaha supaya keluarganya fokus kepadanya, dan berakhir melupakan kesalahan-kesalahan yang selalu Luca perbuat setiap harinya.

Seperti saat Luca menyenggol vas bunga antik Salva. Membuat vas seharga puluhan juta itupun hancur berkeping-keping. Gio buru-buru datang, memberikan kabar gembira atas keberhasilan proyek yang sedang ia tangani. Membawa Salva menjauh dari Luca supaya wanita itu tak sempat memaki dan berbuat kasar seperti biasanya.

Juga ketika Luca berseteru dengan Rafa. Gio lekas menyeruak di antara mereka. Menawarkan pergi bersamanya ke wahana bermain. Mengalihkan amarah Rafa sehingga bisa langsung meninggalkan Luca tanpa banyak kata dan banyak perlawanan.

Setidaknya, untuk saat ini, hanya itu yang bisa Gio lakukan. Menghindarkan Luca dari amukan semua orang. Meski Gio tahu, setiap ia melakukan itu. Luca menatapnya penuh kecewa.

Gio sadar, ia kini jadi bersikap selayaknya Fran dahulu, yang cuek dan kelewat tak peduli pada eksistensi Luca di sekitarnya. Namun apa boleh buat? Gio masih bingung harus bagaimana ia bersikap. Bagaimana seharusnya ia menghadapi Luca. Setelah fakta-fakta menyakitkan yang diketahuinya. Gio semakin paham pada akhirnya. Mengapa Fran dahulu, bisa berakhir memiliki sikap seperti ini pada Luca. Karena pada kenyataannya, setelah diposisi Fran, Gio pun merasa kewalahan memposisikan diri.

"Bang, boleh Luca bicara?"

Gio sedikit berjengit. Luca tiba-tiba berada di depannya. Sejak kapan?

Dia sedang mengambil irisan buah di kulkas dapur yang kata Salva telah dikupaskan khusus untuknya. Luca yang melihat itu lekas memanfaatkan kesempatan. "Iya Luca, ada apa?" Gio berujar biasa. Namun nyatanya dia mati-matian menahan diri agar tak terlihat gugup didepan Luca.

Mata Luca tersenyum, sesekali melirik di atas meja terdapat pisau dapur terletak di samping kulit buah. Dia menyeringai tipis. Lalu melangkah perlahan mendekat ke posisi dimana dia bisa menggapai pisau dengan mudah.

"Bang, kenapa akhir-akhir abang berubah?" Luca berwajah sedih. "Aku tidak kenal abang yang aku kenal." Bahkan dia seakan menghapus air mata yang sama sekali tak ada di kelopak mata menggunakan tangan kirinya. Sementara tangan yang lain pun mengambil pisau tersebut.

Gio segera memegang kedua bahu Luca lalu membawa Luca kedalam pelukan. "Maafkan abang, abang lagi dimasa bimbang." Wajahnya kentara khawatir. Melihat muka sedih Luca, dia jadi tak tega. Benar apa katanya, bahwa Luca kecewa padanya.

Tanpa Gio ketahui, jika Luca diam-diam mengangkat tangan kanannya tinggi, bersiap menusuk punggung lebar Gio. Gerakan itu sangat cepat hingga..

Jleb!

Sulung - END [ Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang