Laki-laki dengan atasan telanjang, menguap pelan. Melirik sekitarnya yang terasa sepi, Anas menarik selimut, kembali menutup diri untuk melanjutkan tidur. Hari masih terlihat gelap, Anas juga yakin jika ini masih pagi buta.
Tasya dan Aras yang mengekor, membuka pintu kamar. Penampilan Aras sudah rapi, menggunakan pakaian santai. Hanya baju sesiku, dan celana panjang sampai mata kaki. Balita itu memegang sebuah roti kering, memakannya sesekali.
"Ayah bangun!" Suara Tasya yang mengalun membuat Anas mendudukkan tubuhnya. Melirik istrinya dengan sayu.
"Aku ambil cuti, lagi. Tapi besok harus ke luar negeri dua hari." Anas menguap, menutup dengan telapak tangannya.
Tasya mengangguk pelan, "Aku juga mau ijin main boleh?"
"Boleh."
"Tapi aku nggak ngajak Aras."
Mata Anas langsung cerah seketika, menatap Tasya bingung. "Maksudnya?"
"Temen aku dari Singapura hari ini ke Indonesia, aku mau temenin keliling." Tasya cengengesan, menautkan jarinya.
"Yaudah ajak Aras sekalian, aku mau nonton pertandingan voli," ucap Anas.
"Nggak bisa." Tasya menggeleng tegas. "Nanti mereka tau kalo aku udah punya anak."
Anas menatap istrinya tajam, bangun dari tempat tidur untuk berhadapan langsung dengan Tasya. "Kenapa? Temen kamu cowok? Nggak mau bawa Aras supaya mereka kira kamu masih single dan bisa deketin kamu, gitu?!"
Tasya tersenyum lebar, "Betul. Kok tau?" Sedetik setelahnya perempuan itu melotot dengan gelengan kepala. "Eh bukan gitu, maksud aku–"
"Nggak usah ngeles!"
"Beneran, temen aku cewek, aku mau ajak Aras takutnya nanti kecapean, kamu juga cuti, kan?"
"Aku mau keluar juga."
"Ayo dong, sesekali gantian aku yang keluar. Kamu juga bawa Aras sekalian kenapa?" Tasya mendengus pelan. "Temen aku nggak setiap hari bisa ke sini."
Anas menatap wajah Tasya lama, melihat bagaimana perempuan itu memasang wajah memelas. Itu berat bagi Anas. Satu sisi dirinya tidak mau mengajak Aras karena takut anaknya bosan dan mengajak pulang sebelum pertandingan selesai.
"Titip ibu gimana?" saran Anas.
"Aku udah coba bilang, ibu bilang harus ke sekolah Bintang sama Angkasa, kalo Galaksi sibuk. Dia handel semua kerjaan kamu sampe nggak ada waktu." Tasya melirik suaminya sinis, bersedekap dada. Memasang wajah songong.
•••
Anas memarkirkan motornya di barisan motor, menatap sekeliling yang terasa ramai oleh orang-orang. Pertandingan ini aslinya dibuka secara umum, siapapun boleh mendaftar dan mengikuti. Jadi tak heran jika orang-orang ini minat menonton, sekedar ingin atau ada temannya yang ikut bertanding.
"Yah tulun."
Anas menepuk dahinya pelan, dirinya lupa jika saat ini membawa buntut. Laki-laki itu menurunkan Aras yang sudah didandani Tasya sedemikian rupa agar tidak bentrok dengan penampilan Anas.
"Nanti mau makan nggak?" Aras mengangguk, menggenggam jari telunjuk ayahnya yang berdiri di sebelah.
Anas menghela, mengambil tas bayi Aras yang disiapkan Tasya. Awalnya Anas berpikir untuk meletakkan tas itu di motor, namun sepertinya Aras membutuhkan itu. Isinya hanya botol susu, kue kering dan keperluan Aras yang lainnya.
"Ayo masuk." Anas menggandeng Aras, membiarkan balita itu berjalan sendiri. Memasuki gedung pertandingan indoor yang terasa luas.
Anas memilih tribun dekat dengan pemain, agar bisa melihat lebih jelas. Laki-laki itu mendudukkan anaknya di kursi sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
Ficción General"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...