NEXT GENERATION : 14

49 2 0
                                    

Tasya memeluk tubuh kecil Aras dengan lembut, menyalurkan rasa sakit hatinya di bahu kecil anaknya.

Perempuan itu bergumam lirih, meminta maaf. Tadi dirinya masih dikuasai emosi, hingga mengabaikan tangisan Aras.

"Maaf."

Tasya tidak bisa menyalahkan Anas atas keadaan Aras sekarang, dirinya juga salah. Menyalurkan emosi kepada anak bayi, tidak ada gunanya.

Tasya mengecup pelan pipi anaknya, tersenyum getir melihat bagaimana nyenyaknya tidur Aras, setelah kenyang.

Tasya berusaha memejamkan matanya, namun sudah sejak tadi dirinya mencoba tidur, tetap tidak bisa.

Suara benda jatuh dari arah bawah membuat Tasya kembali terjaga, menepuk pelan perut Aras saat melihat tubuh mungil itu menggeliat.

Tasya menghela napas, memilih keluar dari kamar dengan keadaan yang masih berantakan.

Dari tengah tangga, Tasya dapat melihat tubuh Anas yang berjongkok, sedang memunguti pecahan kaca. Entah apa yang kembali dibanting oleh suaminya.

"Banting apa lagi, sekarang? Lama-lama habis perabotan di rumah."

Anas segera berdiri, menatap belakang dengan tatapan sendu. "Sya?"

Laki-laki itu tersenyum getir, melihat wajah Tasya tetap datar. Biasanya istrinya akan terkekeh atau menanggapi, namun sekarang tidak lagi. Sepertinya memang Tasya marah besar kepadanya.

"Gue masak buat lo, tapi piringnya nggak sengaja kesenggol."

"Jangan belagu. Nggak bisa masak, nggak usah masak! Ganggu tidur aja!" Tasya menatap tajam manik Anas, sebelum kembali menaiki tangga.

"Tapi gue masakin lo."

Tasya terkekeh pelan, menghentikan langkahnya. "Aku nggak minta dimasakin sama kamu. Kalo aku laper, aku bisa masak sendiri!"

Anas menatap sulit punggung istrinya, sebelum menggeleng lirih. Tidak. Ini usaha Anas untuk meluluhkan hati Tasya, jadi dirinya tidak boleh menyerah saat ini.

Dulu juga dirinya pernah berkata kasar pada Tasya, namun perempuan itu tetap bersikap baik seolah ucapannya tidak menjadi masalah.

Anas memutuskan untuk masuk ke dalam kamar di lantai bawah, ragu dibolehkan tidur di kamar atas.

•••

Tasya membuka matanya, melihat Aras menangis dengan tangan yang mengepal erat. Melirik jam yang menunjukkan pukul enam pagi.

Perempuan itu memutuskan untuk memberi ASI Aras sebelum keluar kamar.

Sampai di lantai bawah, terlihat sunyi, tidak ada suara atau keberadaan suaminya di dapur. Tatapan Tasya terpaku pada makanan di atas meja yang tertata rapi, tampilannya sih menarik.

Tasya memejamkan sebelah matanya, sedetik setelah mencoba mencicipi masakan Anas. "Dasar. Udah nikah aja masih pengen nikah?" Perempuan itu terkekeh pelan, asin. Kata orang dulu, jika masakan asin pertanda kebelet menikah.

Tasya meraih kertas kecil yang terdapat di pinggir piring. Tulisan tangan Anas.

'Maaf ya Ay, aku harus berangkat pagi, semoga suka makanannya, jangan marah. Aku minta maaf.'

Tasya mengulum bibirnya, menahan senyum. Panggilan yang Tasya rindukan sebenarnya, namun Anas tidak pernah memanggilnya seperti itu setelah melahirkan.

•••

"Apapun alasan kamu, Kakek hanya butuh tenaga kamu, Anas, untuk Galaksi, Kakek persilahkan."

ANASTASYA : NEXT GENERATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang