Anas mencium perut putranya berkali-kali, suara tawa merdu milik Aras terdengar nyaring memenuhi ruangan kamar.
Bayi delapan bulan itu tertawa riang, menarik rambut Anas agar menjauh dari perut buncitnya yang terekspos. Efek baru mandi, belum memakai pakaian.
Anas tertawa kecil, melihat bagaimana gigi kecil Aras mulai terlihat, bayi kecil itu menatap Anas polos, seakan ingin bermain lebih.
"Makanya buruan bisa jalan, nanti Ayah ajak keliling kota, kamu yang boncengin Ayah, loh, Ar." Anas menekan-nekan pipi Aras, mencium gemas pipi bakpao anaknya.
"Pwa, paw." Aras berceloteh, mengulum dua jarinya, kaki membentuk huruf 'O' dengan menendang-nendang udara.
"Ayah bukan Papa." Anas menarik tangan anaknya, untuk keluar dari mulut.
"Pwa."
"Ayah. Coba bilang Yah," ucap Anas lambat, mengajari Aras yang memiringkan kepalanya dengan jemari yang ingin menggapai bibir Ayahnya yang bergerak.
"Bya." Aras tertawa cekikikan, menendang udara kuat, hingga tubuh mungilnya terhentak.
Tasya keluar dari kamar mandi, menghampiri anak dan suaminya di atas ranjang.
"Coba bilang Bunda." Tasya menyela, berkata lambat, menuntun Aras.
"Bya."
Aras kembali tertawa, menepuk tangan mungilnya dengan senyum cerah. Membuat mata sipitnya membentuk bulan sabit.
Tasya tertawa pelan, mengecup perut anaknya, "Bunda, Nak. Bukan Bia."
"Tapi dipanggil Bia juga cocok," ucap Anas.
Tasya menggeleng, "Ayah cocok sama Bunda bukan Bia."
"Buruan anaknya dipakein baju, Yah. Nanti kamu telat kerjanya."
Anas mengangguk, beranjak dari kasur untuk memakaikan baju Aras.
•••
Tasya menggenggam erat troli bayi milik Aras, memantau Anas yang masih memperbaiki letak jam tangannya, memandang Aras dengan sedikit berjinjit, melihat tangan yang terbungkus kaos tangan itu menggapai-gapai udara, ingin digendong oleh Anas.
"Gue berangkat," ucap Anas, mencium kening Tasya, hendak berlalu sebelum suara tangisan Aras menghentikannya.
Anas terdiam sejenak, mengangguk pelan saat sadar sesuatu. Laki-laki dewasa itu berjongkok, mencium pipi Aras lama. "Dadah," ucap Anas, melambaikan tangan.
"Byay." Tangan Aras bertepuk, mengiringi kepergian Anas.
"Hati-hati."
"Nah sekarang, Ar mau apa?" Tasya menatap manik polos anaknya, sebenarnya dirinya ingin berada di rumah dan mengurung Aras. Namun dirinya tidak mau Aras menjadi pemalu saat dewasa. Makanya dari kecil anak itu harus terbiasa bertemu dengan orang asing.
"Kita keliling aja ya? Liat pemandangan sama Bunda." Tasya mendorong troli Aras dengan senyumannya, tak lupa mengunci pintu terlebih dahulu.
Perempuan itu sesekali menyapa tetangganya, meskipun kesan mereka kepadanya tidak berubah, masih terlalu cuek. Tasya yang memang jarang keluar rumah menjadi sorotan tersendiri bagi tetangga sekitar.
Tasya hanya menunduk sekilas, melewati tanpa banyak bicara.
"Saya lama nggak liat dia, tau-tau udah punya anak aja."
"Katanya sih pergi luar negeri."
"Ya nggak ada yang tau ya, Bu. Siapa yang ngira keluar negeri malah hamil?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...