Happy reading!!
Anas mengusap kasar wajahnya, mencoba mengesampingkan egonya sendiri. Laki-laki itu melempar gelas kaca yang baru saja dirinya minum, tak kunjung mendapat ketenangan. Maniknya menyala datar, menggertakkan gigi.
Suara tangisan Aras membuat tatapan Anas melembut, hendak berdiri jika saja ucapan menyakitkan dari istrinya tidak melintas.
"... Aras anak aku ..."
Anas melakukan kesalahan besar, membiarkan suara hatinya menguasai lidah kejamnya. Pikirannya untuk menepis pikiran buruk itu melemah, membiarkan kalimat busuk keluar dari belah bibirnya.
Anas mengernyitkan alisnya heran, kala mendengar tangisan Aras kian mengeras, biasanya Tasya akan langsung sigap menenangkan anaknya jika menangis seperti ini.
Terlanjur pusing dengan masalahnya, Anas menyambar kunci motor. Memilih meninggalkan rumah, mencari ketenangan sejenak.
Meninggalkan tangisan Aras yang kian mengeras.
Tasya berjalan loyo, menghampiri anaknya dengan tatapan kosong. "Bisa diem nggak?" ucapnya datar. Memandang anaknya dingin. "Bunda mohon diem, Bunda capek, Bunda belum bisa jadi ibu yang baik, Aras."
Suara tangisan Aras beradu dengan tangisan Tasya yang ikut mengeras.
•••
"Kamu kenapa ke sini, Anas?" Grace menompang pinggang, berdecak keras kala menyadari raut wajah Anas yang murung.
"Istri kamu baru lahiran, harusnya kamu di deket dia, nemenin rawat Aras barengan. Malah keluyuran gini kamu!"
Anas menatap Grace dalam diam, mengepalkan tangannya, takut hendak mengucapkan keinginannya. "Bu?"
"Apa?" Menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan Anas, wanita itu memilih membawa Anas masuk. Berbicara di tempat tertutup.
"Kenapa?"
"Sepi?" gumam Anas pelan, dijawab anggukan oleh Grace.
"Jendra sama Nolan udah nikah, punya kehidupan sendiri. Yang lain kuliah."
Anas menatap Grace lamat, menggigit bibirnya ragu hendak berucap.
"Anas pinjem uang Ibu, boleh nggak?" Niat Anas untuk datang ke sini memang itu. Tidak ada yang bisa Anas lakukan saat ini. Dirinya benar-benar belum siap untuk merasakan capeknya dunia kerja.
Grace terdiam sejenak, mengangguk pelan dengan senyum tipis. "Pinjem berapa?"
"Dua juta ada nggak, Bu?"
Grace mengangguk, "Ada."
Anas tetaplah anak laki-laki Grace. Anak yang dia rawat dengan sepenuh hati, seperti anak kandungnya sendiri. Tak sampai hati jika wanita itu harus mengaku dan jujur, jika dirinya juga tidak ada penghasilan lagi.
Grace hanya menjabat sebagai seorang guru, namun saat ini, wanita itu sudah keluar dari pekerjaannya. Mendiang suaminya bukan dari keluarga kaya, hidup mereka bisa dibilang sederhana, jika dibandingkan juga pasti latar belakang keluarga Anas lebih baik.
"Ibu transfer ya," ucap Grace. Meskipun bingung dengan anaknya, namun Grace memilih diam, tak ingin bertanya jika Anas tidak berniat sendiri menceritakannya.
Anas tersenyum cerah, merasa sedikit terbantu. "Makasih, ya, Bu. Maaf Anas ngerepotin Ibu."
"Tidak, Nak."
Mau bagaimana pun, seorang Ibu akan selalu menjadi milik anak laki-lakinya. Tak peduli sudah menikah atau belum, Ibu selalu ada jika anaknya memerlukan pertolongan. Bahkan tak sampai hati seorang ibu menceritakan beban hidupnya di depan anaknya, tak ingin anaknya ikut kepikiran.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...