Anas menggerakkan tubuhnya tak nyaman, rasanya dia baru tidur beberapa jam, kenapa ada saja yang mengganggunya?
Anas lelah, butuh banyak waktu lagi untuk tidur, tapi bocah yang berceloteh di atas dadanya terus saja berucap dengan suara nyaringnya, membangunkan Anas.
"Yah."
"Aduh Ar, bobok lagi ayo," ajak Anas, mendekap tubuh Aras di atas dadanya, membaringkan kepala Aras agar menyandar di dadanya yang telanjang.
"No no," tolak Aras, berusaha mengangkat kepalanya kembali.
"Yah Bia."
Anas membuka sebelah matanya, menatap penampilan Aras yang sudah rapi, bayi kecil itu ternyata sudah mandi. Lebih rajin Aras daripada ayahnya.
"Bilang Bunda, Ayah mau cuti, jadi ayo bobok lagi, bocah."
Aras menggeleng, menepuk keras perut ayahnya, membangunkan. Merasa sia-sia, Aras terduduk di sebelah Anas, menarik jari ayahnya untuk bangkit.
"Ayo Ayah bangun, aku udah mandi ini, udah ganteng kayak Om Galaksi, Ayah belum mandi jadi belum ganteng." Ucapan Tasya yang baru keluar dari kamar mandi membuat Aras mengalihkan tatapan. Menatap Bundanya sembari menarik tangan Anas.
"Yah."
"Bangunin dong sayang, gini Bunda ajarin." Tasya mengulum bibirnya menahan tawa, meletakkan pantat Aras tepat di dada Anas, "Cium Ayah pake liur."
Aras tertawa, menempelkan bibirnya yang terbuka ke hidung Anas, berhasil membuat laki-laki itu membuka mata sepenuhnya.
"Bangun, Yah. Kerja nggak?"
"Aku mau cuti, ngantuk banget, Bun."
Tasya mendengus mendengar ucapan suaminya. "Bangun dulu, mandi biar seger, aku udah masak."
"Bentar aja ya sayang? Five minutes, okay?" lirih Anas hendak menutup kembali matanya.
"fi nes." Aras menepuk pipi Anas sekali.
"Nggak ada, bangun sekarang Anas." Tasya menyerah, menundukkan kepalanya, mencium kilat bibir Anas. "Udah, kan? Ayo bangun, Yah. Kamu dikatain anakmu lebih ganteng Galaksi daripada kamu."
Anas tersenyum lebar, "Peka banget, istri siapa sih?"
Tasya memutar mata malas, menurunkan Aras dari kasur, bocah kecil itu langsung berjalan menyusuri segala sisi kamar.
"Buruan mandi, aku udah siapin makanan."
Anas mengangguk pelan, ogah-ogahan mengangkat tubuhnya, meninggalkan kasur.
"Ar follow Bunda," titah Tasya lembut, anehnya Aras tetap menurut, berjalan pelan mengekor Tasya dengan tangan menggenggam sebuah dino kecilnya.
Anas terkekeh pelan, "Gue nggak percaya sama kalimat like father like son, gue lebih percaya sama like mother like son," ujarnya. Mengakui jika Aras akan pintar sama seperti Tasya, sebuah keadaan yang Anas syukuri. Dirinya juga tidak mau Aras meniru sikap bejatnya.
Memang seperti itu bukan?
Ibu itu tahta tertinggi untuk putra-putrinya. Andai kata Ayah dan Ibu bertengkar, pasti anak lebih memihak kepada Ibu. Ya itu kembali ke diri sendiri dan keadaan.
•••
"Ar makan ini, sendiri okay?"
Aras mengangguk sekali, leher batita itu sudah terpasang celemek. Duduk diam di kursi bayinya.
Menerima mangkuk dari Tasya yang berisi sayuran dan buah-buahan tanpa nasi.
"Pagi," sapa Anas. Melangkah menuruni tangga, laki-laki itu menunduk untuk sekedar mencium pipi gembul Aras yang sibuk mengunyah.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...