Anas menatap wanita di depannya tanpa minat. Masih memangku Aras yang mengantuk, duduk di depan supermarket menunggu Tasya membeli obat luka Aras. Laki-laki itu mengabaikan kehadiran Brenda dan Fajar yang bersedekap dada sombong.
Brenda tersenyum miring, menarik lengan anak kecil di pangkuan Anas.
Hal itu membuat Aras terjaga, menatap Ayahnya polos, berkedip beberapa kali.
Anas menggeram rendah, menghempas tangan Brenda dari lengan anaknya.
"Mau apa kalian?!" tanya Anas rendah.
"Mau apa kita, Pa?" Brenda berbalik, menatap suaminya dengan alis mengangkat sebelah.
"Ini anak kamu, Anas?" tanya Fajar, menatap wajah lugu Aras lamat. Seakan tersihir oleh wajah kecil yang terlihat lesu itu, mengemut jari jempolnya dan menatap wajah Anas dari bawah.
Anas terdiam, ingin mengusir mereka dengan kata kasar, jika saja Aras sedang tidak bersamanya.
"Bukan urusan kalian!"
"Anas?" Tasya menyela, mengambil alih gendongan Aras. Bayi itu melambai menarik baju Tasya, mungkin haus atau mengantuk.
Brenda tersenyum miring, lagi. "Ah saya kira kamu sudah meninggalkan seorang suami tak bergunamu ini, Nak. Padahal kamu cantik, berprestasi, kamu bisa dapat karir bagus, saya bisa bantu kamu. Kamu mau menjadi model? Atau seorang CEO wanita? Saya bisa kasih semuanya!"
Tasya menggeleng lirih, melirik Anas yang menatap kosong ke depan, tangan laki-laki itu mengepal erat.
Menerima semua ucapan Brenda dalam diam.
"Umur kamu masih dua puluhan tapi sudah harus ribet mengurus anak, cih! Kasihan sekali nasib kamu." Brenda menatap Tasya dengan manik disipitkan, seolah Tasya adalah manusia yang harus dikasihani. "Lebih kasihan melihat kamu bersanding dengan seorang suami nggak becus ini! Apa yang bisa kamu banggakan dari Anas, Nak? Dia pembawa sial buat kehidupan kamu."
"Apa tujuan Anda sebenarnya?" Anas memotong Brenda yang hendak kembali berucap. Menyembunyikan kepalan tangannya di belakang tubuh, menahan agar tidak langsung menyerbu mangsanya.
"Pa!"
Fajar menghela napas, menatap Aras dengan dalam. "Kita kesini mau ajukan penawaran baik buat kalian. Kalian tau sendiri, semua keturunan Arendra sudah memiliki keluarga masing-masing, ka—"
"To the point!" tekan Anas.
"Kami perlu bantuan kamu, Anas. Bantu saya mengurus perusahaan."
Anas menaikkan alisnya sebelah, sepertinya peralihan hak waris yang direncanakan oleh Omanya, gagal. Fajar masih memegang kendali penuh atas hak waris, dan sekarang pria paruh baya itu keteteran. Saat ini, Anas hanya mampu tersenyum miring, sombong.
"Tidak! Tidak sudi kami memohon bantuan kamu, anak sial! Saya hanya menawarkan kehidupan baik kepada Tasya dan anaknya, tapi dengan syarat bahwa anak kamu milik kami sepenuhnya saat besar nanti," bantah Brenda, meralat ucapan suaminya.
Niat Brenda dan Fajar sedari awal hanya agar dapat mengendalikan Aras sedari bayi, hanya dengan cara itu mereka bisa mempertahankan perusahaan dan nama Arendra tanpa perlu mengeluarkan tenaga dan keringat. Mereka bisa menikmati masa tua dengan melihat Aras menderita di bawah kendali mereka.
Mereka membutuhkan seseorang yang dapat memenuhi perintah dan keinginan mereka. Hanya Aras yang mereka andalkan, seluruh keturunannya perempuan, ada Anas, namun laki-laki itu sudah besar, sudah menaruh banyak benci kepada mereka. Jadi mustahil dapat dikendalikan dengan mudah.
"MAU KALIAN APA BA****** BANG*** SI****!"
Aras dan Tasya serentak terkejut, menatap Anas dengan manik melotot, apalagi di sini ramai orang.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
Fiksi Umum"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...