NEXT GENERATION : 28

30 3 3
                                    

Galaksi bilang, perjalanan akan dilakukan pukul tiga dini hari dengan penerbangan lewat udara. Anas kali ini hanya ditemani dengan sekretarisnya, tanpa Galaksi. Laki-laki yang masih melajang itu berkata jika dirinya yang akan mengurusi kantor di sini.

"Udah rapi. Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Tasya usai merapikan kemeja dan dasi Anas.

"Nggak ada. Aku usahain cepet pulang," ucap Anas, mencium dahi Tasya lama.

"Mau aku anter ke bandara?"

Anas terdiam mendengar perkataan istrinya, laki-laki itu sepertinya melupakan sesuatu. "Anneta kayaknya udah di bawah," ucap Anas sesaat setelah melirik jam dinding.

"Kamu buruan turun, aku mau bicara sesuatu sama sekertaris kamu." Perempuan itu keluar kamar menuju lantai bawah. Tasya juga sudah tahu jika Anas akan menggunakan kendaraan kantor bersama dengan Anneta.

Melihat istrinya sudah keluar kamar, diam-diam Anas memasuki kamar bayi di sebelah kamarnya. Melihat tubuh mungil putranya yang terbaring miring dengan guling di setiap sisi tubuh.

Anas mencium pipi anaknya, menatap lamat wajah Aras yang mungkin dirinya rindukan dua hari kedepan. "Maafin Ayah, Ar."

Anas tidak tahu harus mengucapkan kalimat apa lagi untuk mengungkapkan perasaan, menyesali ucapan dan perlakuannya pada Aras.

Laki-laki itu mengusap telinga Aras pelan, "Ayah kasar, ya?"

Anas terkekeh pelan, mencium bibir putranya sekilas. "Jangan cari Ayah."

•••

"Bia." Aras berdiri di anak tangga, bertepuk tangan saat melihat ibunya berada di dapur. Sesuai prediksi. Anak laki-laki itu menunjukkan giginya, nyengir.

Tasya menatap anaknya lamat, melihat bagaimana Aras makan dengan hikmat, tak menunjukkan wajah kepo atau penasaran akan sesuatu.

Bagus sebenarnya, Aras tidak menanyakan keberadaan Anas, hanya saja tumben. Aras terbiasa bermain dengan Anas, pagi hari juga pasti orang pertama yang dicari anak itu ayahnya.

Tasya mengedikkan bahunya, tak acuh.

•••

"Good afternoon Mr. Nataniele, the Leader of Magellan Co."

Anas hanya menanggapi seadanya, mengkode sekretarisnya untuk mengambil alih topik.

"Good afternoon Mr. Fernon, we will directly discuss the purpose of our presence here."

Laki-laki berkepala tiga itu terkekeh pelan, "C'mon, saya bisa berbahasa Indonesia."

Anneta tersenyum kikuk.

Anas mendengus malas, tak suka cara kliennya berbasa-basi, terlalu membuang waktu.

"Okay, langsung saja. Tapi sebelumnya terima kasih atas tawaran yang akan menguntungkan perusahaan kami, kami akan benar-benar menyetujui ajakan Anda, jika ada bukti proposal tertulis secara langsung."

Anneta mengangguk profesional, "Saya sudah menyiapkan seluruh proposal yang diperlukan, saya harap ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk perusahaan Anda, Pak."

"Okay. Jawaban akan kami berikan segera, kami juga perlu mendiskusikan beberapa hal terkait tawaran kerja sama ini."

Anneta mengangguk sekilas, melirik Anas yang tetap diam mengamati.

"Terima kasih," ucap Anneta berjabat tangan dengan kliennya. Anas turut berjabat tangan sebagai formalitas.

"Bicara tentang kehadiran kalian, apa sudah ada rencana untuk tinggal sementara? Maybe having fun?" tanya pria itu sedikit canggung saat bertatapan dengan manik Anas.

ANASTASYA : NEXT GENERATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang