"Ada apa, Sya?" Anas datang dengan napas yang memburu, keringat bercucuran satu dua. Tasya menatap suaminya datar, menggerakkan dagu menuju atas.
Anas menurut, melangkah menuju kamar lantai dua. Menghampiri Aras yang masih menangis sesegukan. Kasihan anaknya, dari kemarin kebanyakan menangis.
"Kenapa?" tanya Anas lembut, entah ditujukan kepada siapa.
Tasya bersedekap dada di belakang Anas. "Gantian urus anak kamu. Kamu nggak ada kerjaan, kan? Aku mau istirahat." Tasya berlalu, keluar kamar. Meninggalkan Anas dengan Aras yang masih menangis.
Anas menempelkan jari telunjuk di tangan Aras, namun bayi kecil itu tidak menerimanya.
"Lah, tumben?" Anas menatap melas pada jarinya, tak biasanya. Agaknya memang Aras ikut ngambek seperti ibunya.
Anas mengela napas lelah, membuka jaket dan melepas atasannya. Membiarkan dirinya telanjang dada. Melakukan hal yang sama dengan Aras.
Pelan tapi pasti, Anas membuka baju atas Aras penuh hati-hati. Membawa tubuh ringan itu di atas dadanya, dengan posisinya yang sudah terlentang di atas kasur.
Berhasil. Tangisan Aras mulai mereda, dengan jari jempol yang dikenyot dan tangan kirinya menggenggam jari telunjuk Anas.
"Gimana caranya gue bisa deket sama lo? Apa lo masih butuh gue?" Anas mencium dalam rambut tipis Aras.
Ikut memejamkan matanya, mengantuk. "Capek. Capek dimarahin Bunda kamu. Andai kamu bisa bicara, pasti udah Ayah sogok buat bujuk Bunda." Tak sadar, maniknya perlahan menutup, membiarkan Aras terjaga seorang diri, meskipun tetap tenang tanpa menangis.
Tasya membuka pintu pelan, menatap pemandangan di depannya dengan senyum bahagia. "Aku harus marahin kamu lebih lama nggak sih? Biar kamu bisa deket sama Aras."
Tasya sudah lelah membujuk Aras. Dirinya sudah mencoba menidurkan, namun Aras tetap tidak berhenti merengek. Mengajaknya bermain, hasilnya sama saja.
Sampai dirinya berinisiatif menelpon Anas untuk Pulang. Pura-pura lelah mengurus Aras agar Anas bisa meluangkan waktu berdua dengan Aras. Ternyata dugaannya benar. Aras merindukan sentuhan dari Ayahnya.
Kalau Tasya memilih pergi dan menuruti ucapannya kemarin, dia yakin tak akan sanggup menangani Aras yang lengket dengan Anas.
•••
Tasya merasakan tangan besar memeluk erat pinggangnya dari belakang. Mencoba tak terganggu, perempuan itu tetap melanjutkan mencuci piring.
"Ay?"
Tasya hanya diam, tak menanggapi.
Anas yang geram menggigit leher istrinya gemas, memancing Tasya mengeluarkan ringisannya. "Awas! Kamu ganggu!"
"Sya?"
"Tasya?"
"Ay?"
"Sayang?"
"Bunda?"
Tasya berbalik badan, menatap Anas benci. "Berisik! Urus Aras aja sana! Jangan ganggu aku!"
"Ma–maaf!"
"Sekali lagi kamu ngomong, aku beneran pergi sama Aras! Kamu tinggal nunggu waktu biar bisa liat anak kamu lagi. Aku pastiin kamu nggak akan bisa nemuin aku sama Aras, karena apa? Karena aku akan bawa Aras balik ke sini kalo dia udah dewasa, buat bales dendam sama kelakuan kamu sama dia."
Anas menggeleng brutal, menggapai tangan Tasya untuk dia genggam. "Jangan. Aku minta maaf, aku salah. Nggak seharusnya aku bilang gitu, harusnya aku bisa nerima Aras, karena ini salah aku yang terlalu berharap. Maaf. Aku juga udah mutusin buat keluar kuliah, mau kerja aja, supaya kamu bisa belanja, bisa beli semua keperluan Aras pake uang aku bukan uang Nenek. Aku mau nepatin omongan aku sama kamu, buat jadi orangtua yang baik."

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...