Jangan lupa steel lagu di atas ya😉
"Besok kalo dibilangin itu jangan ngeyel! Ayah bilang duduk diem ya diem bisa nggak sih, Ar?!"
Aras hanya mampu menunduk, melihat kaki Anas dengan air mata yang menggenang. Menautkan jarinya di belakang tubuh.
Anas mengacak rambutnya frustasi, menatap datar dengan manik tajam kearah anaknya. Anas masih punya hati, memarahi Aras di rumah.
Sesaat setelah keributan di lapangan basket tadi, Anas langsung meminta maaf serta membawa Aras pulang. Melupakan tas titipan Tasya di tribun penonton.
Bahkan dirinya melupakan jika pertandingan voli tadi masih berlangsung, biarkan saja semoga Arion mengerti keadaan, hingga Anas bisa lebih mudah menjelaskan dan meminta maaf.
Kondisi rumah masih kosong, mungkin Tasya masih sibuk dengan teman jauhnya.
"Heh denger nggak Ayah ngomong apa?"
Aras mengangguk kaku. Tetap tak mau menatap manik ayahnya.
Anas menghela napas lelah, berjongkok menyerupai tinggi Aras. Laki-laki itu menyentil telinga Aras cukup keras, membuat balita itu menutupi telinganya.
"Kalo ada orang ngomong itu ditatep. Kamu terlalu dimanja Bunda makanya jadi ngeyel gini! Bilang sama Ayah sekarang, kenapa tadi buat ribut?!" Nada yang Anas keluarkan terkesan membentak. Aras mendengarnya seolah tengah dimarahi dan disalahkan.
"KING ALVARASH!"
"Anas!" Teriakan Anas membuat Tasya yang masih melepas sepatu di depan langsung masuk, menegur Anas yang terlihat marah.
"Kenapa teriak?!" tanya Tasya pelan. Menatap Aras yang menunduk beralih pada suaminya.
"Anak lo! Selalu dimanja jadi ngeyel gini sekarang! Lain kali didik yang bener tuh anaknya! Nyusahin aja, bikin malu gue!" Anas berdiri, menatap datar pada istrinya.
Laki-laki itu memandang Aras dengan tatapan datar, terlihat masih menyimpan amarah, namun terhalang hatinya yang melarang.
Anas berlalu menuju kamarnya di lantai dua. Mempersiapkan pakaiannya untuk perjalanan bisnis besok.
Tasya menatap punggung suaminya tak percaya, beralih pada Aras yang masih setia di tempatnya.
"Ar?"
"Maaf Bia."
Tasya tersenyum lembut, mengusap pelan kepala anaknya. "Bisa cerita sama Bunda? Tadi ngapain aja? Main apa sama Ayah?"
Aras mendongakkan kepalanya, mengusap air disudut mata dengan punggung tangan. "Al liat Yah main. Al endili. Al juga au main yak Yah."
Tasya mengangguk, mencoba menyimak cerita Aras dengan baik, sekali saja dirinya mengalihkan pikiran, ucapan Aras tidak mampu dirinya terima. Fakta bahwa Aras mengalami keterlambatan berbicara membuatnya harus ekstra mengajak anak itu berbicara.
"Yah alah, al maaf."
Tasya menatap depan dengan datar. Perempuan itu menarik dagu anaknya untuk mendongak. "Denger Bunda, ya, Ar?"
Melihat ekspresi ibunya yang terlihat marah, Aras kembali menundukkan pandangannya.
"Aras. Liat Bunda bicara, sebentar aja, bisa? Kalo nggak bisa gapapa, tetep kayak gini sampe Aras ijinin Bunda bicara, gimana?"
Aras segera mendongak, menggeleng lirih menolak permintaan bundanya. "Ndak au, Bia."
Tasya tersenyum tipis, "Boleh Bunda bicara?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
Tiểu Thuyết Chung"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...