Tasya mengetuk pintu rumah Galaksi berkali-kali, menunggu sahutan dari dalam.
Perempuan itu menatap pintu cemas, tak kunjung dibuka, membuatnya resah, takut terjadi sesuatu dengan Anas.
Ini sudah dua kali Tasya datang kemari, alasannya untuk bertemu ibu yang ingin jumpa. Dulu ada Anas, jadi Tasya tidak terlalu canggung. Namun saat ini, rasanya untuk langsung menerobos masuk seperti dulu, tak yakin.
"Permisi," ucap Tasya lumayan keras.
"Wah, kakak cantik!" Seruan dari belakang membuat Tasya menoleh, menatap gadis sepuluh tahun yang berlari kearahnya.
"Bintang?"
"Kakak ngapain di sini?" Angkasa bertanya.
"Kakak cari Kak Anas, boleh tolong dipanggil nggak?" Tasya tersenyum lembut, menatap Bintang yang mengangguk antusias dengan manik berbinar.
"Jangan mau Bintang," bantah Angkasa. "Kakak langsung masuk aja, ibu udah sering bilang sama kita, kakak saudara kita, kan, sekarang?"
Tasya tersenyum menatap Angkasa, "Kakak masuk ya?" Tanpa mendengar balasan dari dua saudara kembar itu, Tasya langsung berlari masuk, berpapasan dengan Galaksi di ruang santai.
"Oh, Sya."
"Anas?"
"Di kamar, masuk aja," titah Galaksi cuek, kembali berjalan untuk menonton televisi.
Tasya membuka pelan pintu kamar, menatap presensi Ibu yang dari kamar sebelah, wanita itu menatap Tasya dengan alis mengernyit sebelum tersenyum tipis.
"Bujuk gih, suamimu." Tasya mengangguk, masuk kamar.
Pandangan Tasya terkunci pada tubuh Anas yang berselimut, sepertinya laki-laki itu tertidur.
"Anas?" Tasya mendekat, duduk di pinggir kasur, membelai lembut rambut suaminya.
Pergerakan Tasya sama sekali tidak mengganggu tidur Anas, laki-laki itu masih tak bergerak, entah tidur atau pura-pura tidur.
"Pulang ya? Aras nyariin kamu loh tadi, jangan kayak gini, dong." Tasya menjatuhkan kepalanya di bahu Anas, menahan matanya yang kian memanas.
Tasya juga tidak bisa berbuat banyak, mengubah pandangan Brenda dan Fajar kepada Anas sama sekali tidak bisa Tasya lakukan, bagaimana caranya?
Perempuan itu tahu sadari awal, kehidupan Anas sudah berat. Tak pernah terbayang seberapa traumanya laki-laki itu.
Anas harus melihat langsung pembunuhan Nenek diusianya yang baru 5 tahun. Mengalami pembullyan mental sejak kecil dari keluarga Ayahnya. Brenda dan Fajar sama sekali tidak mengharapkan kehadiran anak laki-laki.
Anas hanya punya teman-temannya, sahabatnya, Kakek, istrinya dan anaknya. Namun dengan sembarangan Brenda dan Fajar kembali datang mengganggu kehidupan damai mereka dan berkata jika akan merebut buah hati Anas.
Tasya juga tidak akan rela anaknya tersiksa di bawah kendali mereka.
"Sya?"
Tasya mengangkat kepalanya, menatap sendu Anas yang menatapnya dengan manik sayu.
"Hm? Pulang ya? Kita bicarain baik-baik, kita cari solusi sama-sama," bujuk Tasya. Mengusap pipi suaminya lembut.
"Gue takut," lirih Anas. Melingkarkan lengannya di leher Tasya, menarik perempuan itu untuk terbaring di sebelahnya.
"Takut apa? Bilang sama aku, aku istri kamu, sayang. Jangan dipendem sendiri."
Anas semakin menenggelamkan kepalanya di dada Tasya, menghalau air mata kembali mengalir.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...