Suara tawa anak kecil dengan remeh terdengar di sekeliling taman kanak-kanak. Beberapa orang saling mendorong untuk mendesak satu anak laki-laki yang hanya terdiam kaku.
Satu anak laki-laki yang paling tinggi bersedekap dada, mendorong kakinya untuk menendang kaki kiri mangsanya. Tertawa lagi, menganggap jika tingkahnya sangat lucu.
Aslinya tingkah dan kesan bully melekat erat dalam dirinya.
"Nggak bisa ngomong ya?!"
"Pukul aja."
Temannya saling mengompor, memanasi keadaan. Taman yang mereka tempati cukup sepi, hingga hanya ada mereka dan tindakan itu tidak diketahui oleh siapapun.
"Kamu nunggu jawaban apa? Kan dia nggak bisa ngomong."
Aras mengepalkan tangannya, teringat dengan nasihat bundanya. Wajah anak lima tahun itu memerah, menahan emosi yang siap memuncak.
Tubuh Aras terdorong ke belakang, terduduk di atas rumput dengan tatapan datar.
Ayahnya pernah berpesan, 'selemah-lemahnya kamu, jangan pernah nundukin kepala. Harga diri kamu nggak boleh turun di depan orang payah, King.'
Ya, Anas dulu memang hanya menundukkan kepalanya di depan Kakek saat memohon untuk memberitahu keberadaan Tasya, dan hanya kepada istrinya.
"Udah tinggal aja, nanti dicariin Bu gulu, kan?" Laki-laki lainnya tersenyum remeh, seolah mengejek Aras.
Batin Aras berteriak memanggil nama tiga orang tadi, mengucapkan kata 'locked up'.
Anak laki-laki itu terburu bangkit, sadar jika hari ini ayahnya yang menjemput. Sedetik saja Aras terlambat keluar, Anas akan langsung masuk mencari.
Pernah sekali dirinya masih mengerjakan tugas yang belum selesai. Gurunya menyuruh yang sudah selesai untuk keluar, sementara Aras saat itu belum keluar. Saat keluar dirinya mendapati ayahnya yang panik dan memarahi satpam sekolah. Malunya ditanggung Aras.
"Ayah." Aras ngos-ngosan, memegang lutut dengan keringat yang mengalir.
"Hobi banget sih, Ayah masih ada kerja ini." Anas mendengus malas, menjepit kepala anaknya di ketiak. Menggosokkan kepalan tangannya di kepala anak itu.
"Aduh maaf, Yah." Aras mencoba melepas diri dari jangkauan ayahnya, menatap sebal wajah datar Anas.
"Buruan, Bunda udah bikin nastar di rumah."
"Itu mah Ayah yang suka!"
"Salah sendiri kenapa nggak suka makanan seenak itu?!" Anas tersenyum miring, menganggap jika mereka yang tidak menyukai nastar adalah orang aneh.
"Bikin haus."
•••
"BIA ALAS PULANG!" Aras berteriak lantang di pintu rumah, mendapat jitakan kepalanya dari Anas.
"Berisik! Gue nggak pernah ngerasa ada anak namanya Alas, deh."
"AYAH!" Aras mendengus malas, menendang tubuh ayahnya dari jarak dekat. Melihat ayahnya menghindar, Aras buru-buru memutar tubuh dengan tendangan bertubi, bergonta-ganti kaki.
"Stop, Ar."
Anas terkekeh pelan, melihat wajah memerah Aras. Entah karena malu atau marah. "Dasar cadel!"
"Bialin! Kata Bia ini belkah." Aras menunjukkan tangannya ke atas, mendongak dengan wajah tenang, alim.
"Tumben, biasanya langsung lari ke dapur, ini kenapa diem di sini, hm?" Tasya muncul dari arah dapur, membawa toples nastar di tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...