14. Ternyata, bangun sesakit ini

230 24 42
                                    

"Sstt, sudah lega? Tenang gak ada apa-apa kok, itu semua cuma mimpi, gak bener kok. Tadi ayah kamu ngasih kabar kalo ice masih di rawat di rumah sakit, kita doa in aja dari sini supaya dia cepet sadar ya?" Pian tersenyum lembut, berusaha memberikan ketenangan dan kehangatan bagi keponakan nya yang ganteng ini.

"...beneran, bakal sadar kan?" Takut, ia takut mimpinya itu nyata adanya, atau mungkin sebuah pertanda.

"Heh? Gak boleh ngomong gitu, besok kita kesana mau?" Pian melihat hali yang langsung menoleh nya, mata hali berbinar mendengar tawaran itu. 'Boleh juga', pikirnya, lalu ia pun segera mengangguk.

"Tidur gih, udah malem. Yang lain udah duluan, kamu tadi ketiduran sampe malem" ucap Pian yang di beri anggukkan dari hali

Skip time

18-february

Pagi ini, mereka segera bersiap-siap untuk mengunjungi ice ke rumah sakit. Banyak pertanyaan oleh bocah-bocah itu, tapi Pian menghadapi nya dengan sabar.

Mereka segera berangkat dan akhirnya tiba ke tempat tujuan mereka, sesampainya di sana bocah-bocah itu tetap menurut dan diam di sepanjang perjalanan. Mungkin karna syok? Mereka baru saja di beri tahukan oleh Pian pagi tadi saat hendak pergi, dan disinilah mereka berada sekarang. Ruang rawat inap no 18.

Waktu berlalu dengan singkat, Pian memutuskan membawa mereka pulang kembali ke rumah karna hari sudah mulai gelap.

"Lekas sadar nak" lirih Pian pelan sebelum akhirnya keluar bersama keponakan nya yang lain, Pian benar-benar menganggap mereka sebagai anak-anak nya sendiri.

Skip time

Dua puluh lima menit berlalu, akhirnya mobil yang Pian dan bocah-bocah itu bawa tiba ke rumah dengan selamat.

Tak ada yang mengetahui, bahwa seseorang di sana sedang menanti matahari di esok pagi.

Jam besar di sudut ruangan tak henti-hentinya menggoyang kan denting jam nya, setiap ayunan denting itu menandakan pergantian detik. Larut malam kini di terangi oleh sinar rembulan, indah.

Kini, tepatnya di RS tempat orang tua dari ke tujuh anak itu sedang menekan-nekan tombol di ramping ranjang dengan panik. Lenguhan kecil anak nya mampu membangun kan mereka dari tidur mereka, segera sadar akhirnya mereka memanggil dokter. Tak berselang lama akhirnya dokter datang dengan beberapa suster mengikuti nya di belakang, para pekerja medis itu segera melakukan tugas mereka.

Amato dan istrinya kini menunggu di luar hingga akhirnya dokter keluar dari ruangan itu, amato segera berdiri dan melakukan hal yang pasti akan istrinya lakukan.

"Dok, bagaimana keadaan nya?" Tanya amato panik, meski suaranya terdengar tenang.

"Begini, dia sudah mulai siuman. Tapi keadaan nya semakin melemah, dan penyakitnya juga memperburuk keadaan nya. Dengar, saran saya untuk saat ini adalah lebih baik kalian segera menghabisi waktu bersama, manfaat kan waktu yang tersisa mulai detik ini."

"Apa maksudnya?" Bukan amato, melain kan istrinya.

"Maaf, tapi hanya itu yang bisa saya sampaikan."

"Dokter, tolong. Saya akan membayar berapapun harganya, saya tidak mau kehilangan anak saya."

"Maaf, tuan amato. Tapi saya akan melakukan apapun untuk kesembuhan pasien saya, permisi." Dokter itu segera melesat pergi dan membiarkan wali pasien nya segera menemui anak mereka.

"Nak? Apa yang kamu rasain sekarang? Ada yang sa..kit gak?" Begitu masuk, wanita itu langsung menyambar anaknya dengan pertanyaan nya. Ia bertanya dengan Isak tangis yang di tahan dan suara yang gemetar, ia kalut dengan rasa takut.

"ibu..., ayah..., hiks...sakitt" jujur saja, kepala nya langsung nyut-nyutan saat ia sadar. Pandangan nya juga sedikit buram dan gelap, dia takut dengan penglihatan nya sekarang. Tangan kecilnya terangkat dan meraba wajah ibu nya, kemudian amato mendekat dan ice juga mengelus wajah ayah nya. Amato memegangi tangan anaknya yang berada di pipinya kini, menarik tangan itu lalu mengecup nya.

"Ice, nanti kalau sudah besar. Kuat-kuat ya nak, masih banyak hal yang lebih kejam yang mungkin saja akan menghampiri mu. Jadilah sosok yang mampu melawan rasa sakit mu, jangan mudah menyerah ya? Iya ayah tau rasa capek pasti datang, tapi kamu harus tetap berjuang dan bertahan demi melihat apa yang tersembunyi di balik semua ujian ini. Percaya lah, itu pasti indah." Amato berujar seolah dia sudah sepuh dalam hal ini, benar, dia hanya ingin anak nya mampu melewati semua rintangan yang ia hadapi, bila masa ia tak bisa lagi di sisi anak-anak nya juga istrinya.

"ayahh, ibuu... Icy masih mau lebih, lama lagih... Hiks,,, setidaknya sampai Icy bisa Nemanin hari lahirnya kak aze... Hiks,,, d-dokter tadi bi-lang,,-" dia tak melanjutkan nya, rasanya takut jika dia tidak akan lebih lama lagi menempati dunia kecil ini.

"Ice pasti tumbuh besar sayang, banyak hal yang menanti... ssshhh, sudah-sudah sini sayang sama ibu..."

Akhirnya mereka memutuskan untuk istirahat, karna hari sudah larut.

19, Februari

"Hoamm, pagi uncle" sapa blaze di pagi hari, tangannya tergerak mengucek matanya.

"Pagi aze,, mandi gih. Hari ini uncle mau jenguk ice lagi, katanya dia sudah bangun." Ucap Pian dengan cekatan sedang memasak makanan untuk sarapan pagi. Setelah semua nya selesai, mereka pun segera berangkat.

Skip, sampai di rumah sakit. Mereka segera menuju tujuan.

Duri dan solar dengan semangat berlari di di koridor rumah sakit, sampai akhirnya mereka melihat ayah mereka keluar dari sebuah ruangan. Mereka segera menambah kecepatan mereka berteriak memanggil sang ayah lalu melompat dan di tangkap oleh reflek sang ayah yang bagus, tapi tak bisa lama-lama sebab amato harus membeli makanan untuk sarapan dan hal itu membuat keduanya sedikit murung.

Pian membawa mereka ke dalam, hanya sebentar karna ice juga baru saja sadar. Lalu wanita yang di duga sebagai sosok dari ke tujuh anak itu segera menghampiri dan memeluk anak-anak nya, dia bahagia anak nya ter-urus meski di sisi nya ia harus menahan sakit saat terpaksa jauh dari anak-anaknya di tambah melihat kondisi salah satu anaknya yang semakin memburuk.

Hari sudah menjelang sore, setelah pulang ke rumah tadi blaze merengek minta di bawa kesana lagi. Dan akhirnya mereka kembali lagi kesana, tak sesuai harapan- ayah dan ibunya justru terlalu sibuk mengurus ice.

"Anak-anak, ibu ke toilet sebentar ya." Ucap sang ibu lalu meninggalkan mereka sebentar.

"Icy~" ujar blaze pelan seraya mengelus pucuk rambut ice. "Aze dateng, buat jengukin Icy. Kemaren jugaa, tapi Icy nya masih bobo..." Lanjut nya dengan tatapan sendu.

"...-" baru saja ice akan menjawab, ternyata blaze masih melanjutkan kalimat nya. "Kayak nya, ayah ibu lebih pentinging kamu ya? Sampai ultah ku aja gak inget. Gara-gara mereka sibuk ngurusin kamu sih, lagian kenapa- eh? Kok nangis, sstt shh, icy kenapa?"

"Kenapa dek? Ada yang sakit yah? Bentar, kak gempa panggilin ayah sama ibu" Belum gempa pergi, tangan ice menahan baju lengan gempa.

"ga-k... usahh,,," pinta nya dengan tersedu-sedu. 'ayahh, hiks... gimana caranya ice lawan dunia luar nantinya, hiks... kalo dunia ice sendiri serumit ini?'

Seseorang pasti pernah berpikir dalam hidupnya, bahwa tumbuh besar adalah hal menyenangkan. Tapi, semakin dewasa seseorang, semakin juga seseorang itu ingin kembali pada masa kecilnya.

Lantas apa yang di harapkan dari masa kecil yang gelap?


TBC

JAN LUP VOTMEN, NIH DOBLE UP, PUAS LU PADA.... HWEHWEH ಥ‿ಥ

Us the next life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang