- 01

1.6K 182 67
                                        

Ice tidak cukup dekat dengan istrinya Blaze. Meskipun Blaze serta istrinya berkali-kali pulang ke rumah untuk mencicipi masakannya Gempa dan bersilahturahmi di setiap tanggal merah, Ice belumlah mengenal (Nama) dengan baik, sebab Ice lebih memilih tidur-tiduran di kamar saat pasangan baru menikah itu berkunjung.

Sejujurnya, ini bukan kali pertama Ice melihat (Nama). Ice kerap menjumpai wajahnya di majalah seni nasional, terpampang sebagai Maestro dari pameran seni rupa pada acara Mithraeum Bloomberg Art-Space. Juga, studio lukisnya cukup nyentrik, mudah diingat karena eksentrik dipandang mata. (Nama) bukan pelukis terkenal, tapi sekurang-kurangnya, Ice mengenalinya, ia figur seni di tengah masyarakat Pulau Rintis. Ditambah lagi, di bulan Januari tahun lalu, Blaze sempat memaksa keenam saudaranya berkemah di gunung Yong Belar di perbatasan Kelantan dan Perak, pada pegunungan Titiwangsa Malaysia. Ice diseret ikut oleh Gempa, karena katanya, jarang-jarang mereka liburan. Ice tidak punya pilihan selain ikut, padahal dia tidak punya pengalaman mendaki dan persami sama sekali. Bermodalkan tekad, Ice mengikuterstakan diri. Di sana, Ice bertemu (Nama). (Nama) tidak terlalu banyak bicara karena bagaimana pun, dia malu-malu. (Nama) tidak berhenti bersembunyi di ketiaknya Blaze, dia terlalu kaku untuk membaur dan bicara pada Ice. Dan terakhir, Ice berpapasan dengan (Nama) di acara pernikahannya.

Ice tidak terlalu banyak memerhatikan orang-orang di sekelilingnya, termasuk (Nama), dan keadaan rumah tangganya. Baru kali ini Ice memandang (Nama) dengan seksama. Wanita itu berdiri di depannya. Ia mengenakan gaun seputih kulit hamsternya Halilintar. Telinganya ditindik dan anting-anting kristal cantik menggantung di sana. Rambutnya panjang, hitam alami, dan dicatok bergelombang. Kalung emas putih berbandul angsa melingkari lehernya.

Gaunnya putih sekali, namun sayangnya, tepal luarnya ternodai oleh cat warna ungu pudar. Tangannya juga terpapar oleh cat minyak, meski tak dalam jumlah yang banyak. Ah, ya, Ice ingat, wanita itu pelukis. Blaze sering cerita, (Nama) senang sekali menorehkan jemarinya ke permukaan kanvas. Sang Maestro berimajinasi setiap waktu. Bahkan saat ia minum teh di cangkir porselen, satu jarinya akan mengetuk-ngetuk taplak meja teh; jari itu menggores taplaknya, dan menuangkan fantasinya, seolah ia tengah menggambar.

Dalam pengakuan-pengakuan Blaze di grup keluarga, (Nama) ialah gadis pemimpi yang atraktif. Ia penuh akan seni. Ia membaca buku-buku berbahasa Perancis untuk memahami ukiran di patung Nymphenburg karya Franz Anton Bustelli, dia mempelajari arti seni zaman rokoko dengan desain Neoklasik. Dia selalu menyenandungkan konserto piano Beethoven sebelum tidur. Dia senang merawat bunga-bunga untuk dipetik dan digilas, dijadikan bahan cat alami sebagai bagian dari karya seninya. Kamarnya penuh buku dongeng, buku-buku panduan not, lukisan dari cat air, sketsa gambar acak-acakkan, gaun-gaun putih tanpa corak, pita, aksesori cantik dari mutiara dan kristal vivid, patung porselen dewa-dewi Yunani, manik-manik di wadah kaca, dan percobaan dari banyak karya seni gagal rilisnya.

Bagi Ice, (Nama) seperti hidup di dunianya sendiri. Dia gadis dongeng yang mengenakan pernak-pernik mutiara di gaunnya, dan dia mengotori sebagian besar dari pakaian-pakaian putihnya.

Di gaun itu, Ice melihat untaian mutiara rakitan sendiri dalam jahitan tangan tak beraturan, dan di lingkar pinggangnya, ada selendang putih untuk menutupi lengannya, serta ada pun pita di belakang gaunnya sebagai ikat dari korset sederhana. Mata Ice berhenti sebentar. Ice tahu (Nama) tengah hamil. Tergolong hamil tua, meskipun kata dokter, belum aterm. Tapi, perutnya kelihatan membucit.

Mengetahui apa yang terjadi padanya dan Blaze, itu menjadikan mata Ice terserang gelombang panas tak kasat mata. Ice tahu, daritadi pun, dia sudah menangis. Ice tidak peduli lagi seberapa berantakan wajahnya, dan betapa jelek wajahnya di depan wanita-wanita itu; di sana juga ada Shielda. Ice tidak serta-merta mengenalnya. Tapi Ice menduga, Shielda semacam rekan kerjanya (Nama), karena ia memegangi lengan (Nama), membimbingnya kemari, dan berusaha lebih tabah.

Ice x Reader | Mr. IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang