- 05

467 90 44
                                    

"Mampus kamu, (Nama). Dokternya nanya, luka-luka di pergelangan tangan kamu kenapa," Ice menakut-nakuti. "Nanti setelah melahirkan, bukannya dibawa ke bangsal nifas, kayaknya kamu bakalan disimpen di rawat inap kejiwaan."

"Ice!" (Nama) menyentak. Keberadaannya di sini, bukannya menyemangati, mendukung (Nama) dengan doa, atau kata-kata suportif, malah menjadikannya naik pitam. (Nama) meremas bantal di balik kepalanya, dan menyalurkan rasa sakit di perutnya kepada genggaman tangannya.

Ice mencengkram pagar kecil di sebelah kanan ranjang (Nama), "Lagian, aku sudah bilang, jangan bikin-bikin cat dengan darah lagi. Kenapa tahu-tahu, lukanya bertambah? Kamu pasti ada main di belakang aku!"

Mau menyangkal pun, (Nama) tidak bisa. Selain karena ucapannya Ice itu kenyataan klinis, ia juga tak punya tenaga untuk menyemprotnya sampai habis. (Nama) hanya melotot garang, ia mengacungkan tangannya, berancang-ancang mencemoohnya dari luar ke dalam, tapi tak sekalimat pun lisan keluar dari mulutnya.

Perutnya mulas. Tegang. Rasanya seperti mengenakan korset pelangsing yang pekat dan amat mengikat. (Nama) sampai sesak napas, dan diberikan alat bantu pengaliran oksigen, karena setelah dicek oleh dokter jaga, saturasi oksigennya rendah.

"Diem kamu di situ," Ice mewanti-wanti. "Aku mau ke bagian administrasi di depan. Ada tanda tangan persetujuan wali."

Ice sudah akan pergi, tapi dia membalikkan badan lagi, "Jangan kemana-mana. Jangan jalan-jalan. Kalau mau minum, ada di nakas. Aku cuma pergi lima menit."

(Nama) menggeram marah. Rasanya, (Nama) ingin mengadu pada Blaze, dan meminta Blaze menonjok Ice tepat di muka, supaya pria itu tahu rasanya kesakitan.

Dan di sinilah Sang Maestro, di rumah sakit terdekat dari rumahnya, di ranjang ruang persalinan. Tadinya, Sang Maestro hanya berobat ke dokter di minggu ketiga setelah kematian Blaze, soal keluhannya yang mulai sering mulas. Tapi setelah diperiksa, (Nama) malah dinaikkan ke ruang persalinan, tak lagi diperbolehkan pulang. Karena (Nama) tidak bisa mengurus keperluannya sendiri, Ice jadi ada di sini; soal ini, (Nama) tidak tahu kenapa, apakah kehadirannya berasal dari sanubari, atau sebab dipaksa Amato untuk menunaikan wasiatnya Blaze. Katanya sih, Ice akan memegang kendali, (Nama) tidak perlu khawatir. Tapi, sayangnya, Ice bersikap menyebalkan daritadi.

(Nama) merasa masih kuat jalan-jalan kesana kemari, mencegah bosan melingkupi pemikirannya. Tapi, Ice malah mencegahnya. Kalau kata dokter yang dicarter oleh Ice, (Nama) tidak boleh keluyuran, takutnya infeksi.

Lima menit kemudian, Ice datang lagi. Dan duduk di kursi tunggu.

"Sakit." (Nama) mengeluh, tanpa ekspresi, memperagakan manusia yang sekarat, dan tak punya harapan hidup.

Ice meliriknya. Lalu mata Ice berpaling pada labu infus yang menggantung di atas kepala (Nama). Labu infus berisikan cairan induksinya hampir habis. Sejauh ini, (Nama) telah diberikan dua labu, dan tetap akan berlanjut. Alat pendeteksi detak jantung janin menempel di perutnya, melingkar dengan lingkaran karet elastis, dan terhubung pada mesin printer kurva-kurva membingungkan.

Ice menarik selembar tissue, dan mengelap peluh yang membasahi kening Sang Maestro. Ice pikir, Blaze wajib melihat ini, melihat bagaimana Sang Maestro terlihat kesakitan, dan mengapresiasinya dengan lima bintang.

"Maaf." Ice menghela napas. Ice merasa perlu meminta maaf. Karena jika ia tidak ceroboh, Blaze tidak akan meninggal, dan Blaze tentu saja dapat mendampingi (Nama) dengan duduk di sebelahnya, meluncurkan lawakan-lawakan jenaka, seperti selalu. Ice tidak bisa membantu terlalu banyak. Dia pria kaku. Dia tidak bisa bermanis-manis pada siapapun, seperti Blaze, dan mengendalikan temperatur ruangan agar mendingin karena jokes dagelannya cukup konyol untuk ditertawakan.

Ice x Reader | Mr. IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang