- 19

590 98 43
                                        

Pintunya dibukakan dari dalam. Mamanya Alodia menarik gagang pintunya pelan-pelan.

Dari celah pintu, Sang Maestro menunggu sambil berpasrah diri. Siapapun yang akan menjemputnya, berarti ia memenangkan perbedatannya, dan Sang Maestro hanya akan menurut. Entah Blaze. Entah Ice. Atau keduanya. Sang Maestro membiarkan mereka bersilat lidah dan menyelesaikannya di rumah Pak Amato.

Udara luar menyambut. Semilir angin menerpa.

Blaze datang tanpa Ice. Sendirian. Sang Maestro masih belum memercayai kehadirannya yang secara logis, mustahil adanya—tapi karena pihak rumah sakit itu mengirim surat permintaan maaf serta uang ganti rugi, (Nama) mulai merasionalisasi segalanya, seakan eksistensi Blaze saja tak cukup meyakinkannya.

Wajah Blaze masam. Dia tidak mengatakan apapun. Blaze mengangkat tangannya, dan meraih pergelangan tangan kiri (Nama) untuk digenggam. (Nama) cukup keberatan Blaze berbuat begitu padanya, soalnya Frostfire sedang tidur di gendongannya. (Nama) takut, Frostfire jatuh.

"Hey," Mamanya Alodia menegur. Mamanya Alodia melihat (Nama) meringis. Dahi (Nama) mengerut, tapi ia menahan keluhannya, karena tidak mau semakin memperkeruh keadaan.

"Blaze," (Nama) berusaha memanggilnya, menggapai hatinya, meminta pengertiannya. (Nama) tidak tahu siapa yang perlu dipersalahkan dalam keadaan yang tidak menguntungkan Blaze, tapi (Nama) juga tidak setuju apabila Blaze bersikap sewenang-wenang dan tidak layak.

Blaze menariknya ke mobil. (Nama) sempat menggeleng saat ia menoleh ke belakang, mencegah Mamanya Alodia yang hendak marah-marah dan memprotes. (Nama) mengisyaratkan, dia bisa merampungkan masalahnya secara mandiri, tanpa bantuan orang lain. Sebab rasanya, pihak ketiga di situasi semacam ini tidak akan terlalu efektif membantu.

(Nama) menurut. (Nama) tidak mengelak tarikan tangan Blaze yang cenderung kasar. Blaze tidak begini. Dulu, Blaze tidak berani memperlakukannya tidak hormat. Ada rasa kecewa, tapi (Nama) merasa tidak berhak mengutarakannya, karena (Nama) mengkhianati Blaze dan janji sakralnya. Jangankan angkat suara, (Nama) menganggap dirinya tidak layak memperoleh hak asasi manusia—apakah dia manusia? (Nama) ragu. Manusia tidak menyakiti sesamanya. Sedangkan (Nama) iya.

(Nama) melihat Blaze lekat-lekat, memandangnya penuh rindu. Tidak bohong, masih ada sedikit rasa itu di hatinya, meskipun perasaannya dilemahkan oleh keadaan dimana Ice sudah menikahinya.

Keberadaan Blaze di kursi kemudi menjadikan (Nama) jantungan. (Nama) memeriksa berkali-kali, apakah Blaze benar-benar hidup? Atau itu hantu? (Nama) tidak berhalusinasi, bukan? Dia tak terlihat nyata. Wajahnya segar dan bugar, tapi guratan luka dengan jaringan kulit mati menepel di kulit wajahnya. Bekas terseret aspal. Rupanya masih belum sembuh.

(Nama) tidak tahu seperti apa jelasnya kronologi kejadian kecelakaan Blaze, dan bagaimana tubuh Blaze bisa tertukar. Tak seorang pun sadar, itu lumayan membingungkan. Berbagai asumsi bermuncul-munculan dan menyerang pikiran semerawut Sang Maestro. Waktu pemakaman Blaze, Sang Maestro berkeputusan untuk pingsan sebelum Blaze dikebumikan. (Nama) sebatas menyaksikan ritualnya dari saat orang-orang mulai menaburkan bunga. Tapi lantas, itu tak bisa dijadikannya landasan dasar agar ia memercayai Blaze betul-betul bukan orang yang dimakamkan. Disitu ada saudara-saudaranya. Ada ayahnya, kerabat jauhnya, teman bekerjanya, teman sekolahnya, dan teman main futsalnya. Mengapa jika mayatnya bukan mayat Blaze, tak seorang pun mengeluh janggal?

Pihak rumah sakit itu tidak menyebutkan dengan gamblang siapa mayat tertukarnya.

Frostfire di gendongannya melenguh tidak nyaman. AC di mobil itu dingin dan menyemprot lurus dari ujung kiri laci dasbor kepada si bayi. Tangan (Nama) meraih ACnya dan memposisikannya ke lain arah.

"Blaze, ini Frostfire." Menahan tangis, dan menelan pertanyaan-pertanyaan sistematisnya, (Nama) memilih menunjukkan si bayi pada ayah biologisnya.

Blaze sibuk menyetir. Ia memerhatikan jalan, seperti pengguna jalan yang taat aturan berkendara. Tapi ketika (Nama) menodongkan Frostfire untuk dipamerkan pada Blaze, Blaze meliriknya dengan ekor mata, sebentar saja, kemudian ia kembali fokus mengemudi.

Ice x Reader | Mr. IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang