Kalo ga puter lagunya di sepanjang book, nanti nyesel😔
Pagi-pagi sekali, (Nama) telah menghamparkan selimut piknik bermotif kotak-kotak berwarna mirip kesemek setengah masak di halaman belakang rumahnya. Ia juga membawa keranjang anyaman besar. Di bagian pegangannya, keranjang itu diuliki oleh dua pita yang saling melilit, satunya warna merah muda, panjangnya menjuntai sampai ke bawah, dan satu pita lagi warnanya putih tulang, karakternya keriting, mengkilap, bertabur glitter. Keranjangnya berisi sandwich ikan tuna, sebungkus roti gandum, selai strawberry, pisau mentega, piring-piring keramik, goblet berenamel perak bertatahkan lapis lazuli, sirup birch yang dikaramelisasi ekstrak buah dalam botol berlabel burung cendrawasih dengan sumbat gabus, dan kue tart.
Di selimut piknik itu, (Nama) juga membawa trisula Poseidon dari kuningan yang dibuatnya menjadi dudukan lilin-lilin merah. Lilinnya menguarkan rasa lemon yang segar, lumayan menyengat, dan selalu menyurutkan rasa mualnya ketika bau-bau cat akrilik meracuni indera penciumannya.
(Nama) mengeluarkan kue tartnya ke selimut piknik. Kue itu diisi oleh krim, dan disiram oleh vanilla glaze. Di bagian pinggirannya, kuenya dihiasi oleh renda-renda dari krim minyak, dan bentuk bunga sederhana. (Nama) mencolek kuenya, dan merasakannya di lidah. Rasanya licin, dan manis, dan ... meleleh.
(Nama) melirik pada kanvas yang juga telah ia siapkan di atas rumput. Kanvas itu duduk di tiang flipchart berkaki tiga. Kanvasnya telah memiliki guratan-guratan cat, namun warnanya redup. (Nama) memang telah melukis di sana dari sejak tengah malam. Tapi kepalanya memanas. Pikirannya mengarungi lautan angan-angan dan khayal, memancing ide-ide, namun jalan buntu menyerangnya, menjadikannya melamun di depan kanvas tanpa merampungkan apapun sampai dini hari. Jadi, tadi malam, ia hanya duduk di kursi yang didapatkannya dari set meja rias, memandangi kanvas, sambil memegangi palet berisi paduan senyawa pigmen warna lembut. Kuasnya macet bekerja.
Ia pikir, ia butuh suasana baru. Jadi ia membopong flipchart super berat itu sendirian dari lantai tiga ke halaman belakang, dan menyiapkan piknik yang gegap gempita.
Ia duduk di selimut piknik tipis, di antara rumput-rumput teki yang selalu dipangkas oleh Blaze setiap pertengahan bulan, dan dikelilingi oleh konstelasi bunga dalam pot tanah liat. Pot-pot lidah buaya menggantung di atap rumahnya. Pohon mangga tua tertanam tepat di dekat rak hidroponik. Tanaman paku epifit, tanduk rusa berdaun tumpul, sengaja dilekatkan pada rongga pohon itu, daunnya menjulur ke bawah, tumbuh memanjang, dan di bulu-bulu halus tepalnya terlihat berkilau karena disinari nur baskara.
(Nama) lalu berdiri pelan-pelan, mengingat perutnya amat mendistraksi mobilitasnya. Ia berdiri dengan docmart berpita putih di atas tumitnya. Ia menumpahkan remah-remah biskuit dari kue tart dari gaun selututnya. Ia lalu mengelus kedua kepang rambutnya yang juga diselingi oleh pita tulle berkarakter transparan, dan membetulkan posisi topi jerami di kepalanya.
Ia duduk di kursi khusus orang mendaki gunung, dan ia menatap kanvasnya. Sang Maestro merasa kosong. Tarian tangan di atas kanvas dan kertas yang biasanya terjadi secara alami, ia kehilangan kemampuan naluriah itu. Indera seninya menumpul.
Kanvas itu kosong, hanya dicoret asal oleh pigmen warna krem oleh kuas filbert yang ujung-ujungnya telah mengering karena sering digunakan, tapi tak lekas direndam ke air bersih. Hasil pekerjaannya semalaman.
(Nama) merasa gundah. Kemana hasrat akan seni itu pergi? Kenapa ia tidak diliputi cinta ketika ia melihat palet dengan tumpukan cat yang mengerak dan kanvas blacu di hadapannya?
(Nama) memandang kosong tangannya. Telapak tangannya bersih dan agak berkeringat, sama sekali belum terciprat cat, tidak seperti biasanya. Pergelangan tangannya luka-luka, karena ia menyayat kulitnya sendiri—dia tidak punya masalah mental apapun, dia hanya berusaha menghasilkan pigmen merah Vermillion-nya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice x Reader | Mr. Ice
Fanfiction|Ice x Reader| Tadi kakaknya, sekarang adiknya.