Lomba lari bagi para orang tua siswa ...
Adalah bencana besar untuk Ice.
Ice pusing. Ice bingung. Kenapa sekolahnya Frostfire mengadakan lomba begituan. Frostfire jadi memaksanya ikut, atau kalau tidak, Frostfire menolak datang di bimbel matematika. Supaya si bocah kematian mau menghadiri bimbelnya tanpa perlu diseret, Ice menyanggupi wacana aneh-aneh Frostfire dalam merayakan hari ayah sedunia di sekolahnya.
"Papaku larinya cepat!" Teman Frostfire yang namanya Supra, menunjuk ayahnya dengan penuh percaya diri. Ice rasa, bocah kematian itu sama sekali tidak berbohong. Kebanyakan bocah kematian sifatnya tengil, dan mulutnya rata-rata minta ditampar semua kalau sudah bacot bekicot, tapi nampaknya, Supra tidak sedang membual. Ice mengetahui Supra tak berbohong sebab saat bapaknya Supra memperlihatkan diri, postur tubuhnya kelihatan mirip atlet lari, padahal katanya, profesinya bukan itu.
"Papaku cupu, tapi aku tetep sayang!" Si bocil kema—kehidupan satunya, namanya Glacier, turut berkomentar. Dia anak yang manis. Dia mengenakan pakaian berbalutkan mantel bulu.
"Aduh, Glacy, kamu jangan gitu. Papa jadi malu." Bokapnya Glacier, si manusia bertopi silver, berjongkok dan mengecup singkat pipi Glacier.
"Papaku enggak jago lari. Tapi kalau Pak Kepala Sekolah mengadakan lomba tidur, papaku pasti menang!" Frostfire menyombongkan diri sambil menggandeng tangan Ice.
Ice menggamit balik tangan Frostfire. Sialan anak itu. Ice memaafkannya karena setidaknya, Frostfire memamerkan kemahirannya di bidangnya sendiri.
Tak lama kemudian, Ice mendengarkan bisik-bisik.
"Papi! Papi! Papi! Kita harus menang. Pokoknya harus! Aku enggak mau tahu!" Bocah kematian bernama Alodia merengek pada ayahnya. Alodia tak sekali pun pernah merasakan kekalahan di hidupnya, dia anti kalah, dia tidak suka dan enggan menjadi juara dua, juara tiga, dan apalagi, tidak sama sekali masuk ke dalam peringkat. Alodia akan berusaha sampai dia mengeluarkan air mata, keringat serta darah, dan bilamana dibutuhkan, Alodia akan meluncurkan rencana busuknya.
"Tapi, Sayang," Bapaknya Alodia, yang bersikap sangat jauh berbeda dengan anak perempuannya, tapi muka mereka semirip pinang dibelah dua, mulai menasehati. "Papa lagi enggak fit. Papa nggak bisa menjanjikan kemenangan, tapi Papa bakalan berusaha, ya?"
"Kalo gitu pake Voltr—" Mulut Alodia dibekap oleh ayahnya.
"Kamu itu titisan Mama kamu banget, ya." Papanya mengomel. "Itu curang. Siapa yang ngajarin kamu curang?"
Setelah terbebas dari sumpalan di mulutnya, Alodia menjawab, "Ya Mami. Siapa lagi, memang. Mami kan—"
"Alodiaaa!" Frostfire, yang entah kapan ia lolos dari pengawasan Ice, datang pada si anak perempuan, dan memanggilnya malu-malu. Ice merasa kecolongan.
Merasa tertinggal, Glacier dan Supra panik. Mereka berlari ugal-ugalan, kabur dadi ayah-ayah mereka, dan menghampiri Alodia juga.
"Mami kamu datang juga?" Basa-basi Frostfire terdengar mulus. Ice memandang anaknya ngeri. Siapa yang sesungguhnya mengajari Frostfire mepet-mepet anak orang padahal dia masih kelas 2 SD, berteriak 'Siu' seperti Ronaldo bahkan dari usianya tiga bulan, dan beragam kelakuan di luar nalar lainnya? Ice penasaran.
"Oh, iya. Mami lagi di parkiran, misuh-misuh karna Porsche 550 Rennsport Spyder 1956nya kena berak kucing orang." Alodia menjelaskan.
"A-alodia, main yuk ..." Supra, si pendiam itu, mengajak Alodia main duluan.
"Iya! Main ... main petak umpet!" Glacier mencari cara agar ia disertakan. Glacier tidak mau didahului Supra dan Frostfire. Glacier mana ikhlas.
"Frostfire." Ice datang, sebagai penengah. "Lombanya sebentar lagi dimulai. Jangan jauh-jauh dari Papa. Sini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ice x Reader | Mr. Ice
Fiksi Penggemar|Ice x Reader| Tadi kakaknya, sekarang adiknya.