Ice tidak tahan melihat Sang Maestro memojok di sudut ruangan, menekukkan lututnya, dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut itu. Ia dikelilingi oleh cat minyak, kuas, bercak cat air, kanvas baru berukuran tiga puluh sentimeter kali tiga puluh sentimeter, seikat bunga mawar yang kelopaknya dipenuhi bercak cat, dan perkakas melukis lain.
Cat minyak yang kali ini digunakannya agak berbeda. Ice tahu jelas apa merek dagang cat langganannya (Nama). Cat lukis dalam tabung sekecil balsem. Tapi sekarang, (Nama) malah memakai cat dalam kemasan mirip pasta gigi dengan nylon brush berujung lancip-lancip.
(Nama) biasanya berbelanja alat-alat melukisnya seminggu sekali. Dia tidak boros. Itu pekerjaannya. Namun karena persoalan rumah tangga, satu dan lain hal, (Nama) pensiun melukis semenjak ia melahirkan Frostfire. Meskipun belakangan ini ia mulai aktif melukis, sebab pameran miliknya sendiri direncanakan akan rilis di awal Januari nanti, frekuensi melukisnya tidak sebanyak dulu. Kemunculan Blaze beserta masalah yang dibawanya mematenkan kesedihan Sang Maestro, hingga pada titik didih emosinya, (Nama) memutuskan untuk kembali melukis, tetapi dalam suasana hati seperti badai topan.
Ice tidak henti-hentinya mengidentifikasi perkakas lukis (Nama). Sang Maestro mangkir dari jadwal rutinnya untuk membeli bahan habis pakai. Stok catnya habis, sehingga ia mengenakan apa yang tersisa di rak penyimpanan. Lukisannya belum sempurna tercipta. Hanya ada guratan tipis warna-warna pastel, belum ada garis tegas di atas permukaan suedingnya.
(Nama) duduk di sudut studio, sebentuk ruangan penuh perabot melukis dengan ornamen medieval berlanggam grotesque. Gerabah tanah liat di samping kirinya bahkan dibelinya dari Republik Ceko. Wanita itu wanita seni.
Ice melihat, Sang Maestro tidak berkekurangan dalam penampilan, tidak pula intelektual. Tapi nasibnya begitu buruk. Suami pertamanya menyelingkuhinya. Lebih parahnya lagi, dengan Kikita.
"Kasihan." Si beruang kutub datang menghampiri (Nama), kemudian ia membungkuk untuk menjangkau tubuh letarginya, dan mengangkatnya ke gendongan. Tubuh (Nama) tidak begitu berat baginya. Si beruang kutub mendekapnya seperti ia memposisikan Frostfire di bahunya supaya Frostfire tidak gumoh sesudah menyusu. Seperti itulah si beruang kutub memperlakukan istrinya.
Sang Maestro pun tidak melawan. Ia malah menautkan tangannya di leher Ice, dan membiarkan kedua kakinya memeluk Ice erat-erat. (Nama) setuju untuk diemong.
"Bayi Sayang." Ice menepuk-nepuk punggung Sang Maestro.
Kemudian tangannya beranjak mengelus kepala (Nama) yang bertengger di salah satu pundaknya. Tonus ototnya lemah. Wanita itu tidak bertenaga.
"Boleh aku culik kamu?" Tanyanya.
"Kemana?" (Nama) mencicit.
"Ke drive thru, beli es krim." Jawab si beruang kutub.
Beruang kutub jarang mengekspresikan rasa sayangnya duluan. Akan tetapi, memandang (Nama) dari kejauhan, menontonnya melukis sambil menangis tanpa suara, bukan solusi atas apapun. Beruang kutub tidak tega membiarkan (Nama) mengakumulasikan kesedihan-kesedihannya dengan mencoretkan kuas berulik cat pada kanvas, menuangkan isi hatinya pada media lukis sedangkan Ice hanya membisu.
(Nama) mengangguk. Beruang kutub merasakan anggukannya dari dagu (Nama) yang bergerak menekan pundaknya. Cengkraman tangan Sang Maestro di belakang leher Ice menguat. (Nama) takut jatuh.
Ice senang (Nama) menyanggupi ajakannya pergi ke luar, mencari makanan-makanan manis. Sang Maestro terlalu murung. Ice tidak senang meninggalkannya begini sementara besok pagi, ia akan kembali bekerja. Rasanya, tidak memonitor (Nama) sedetik saja artinya kelalaian. Wanita ini jelas-jelas mentalnya tidak stabil. Dia bisa berbuat apapun—Ice tahu bagaimana (Nama) meraup tanah kuburan Blaze untuk dibuatkan pigmen cat, Ice juga ditelpon Shielda yang mengadukan kebiasaan buruk (Nama) berupa menjadikan darahnya sendiri ke fungsi pewarna pigmen. Sejujurnya, Ice meragukan kejiwaan (Nama). Ice tidak bisa mengizinkannya berada di rumah sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice x Reader | Mr. Ice
Fanfiction|Ice x Reader| Tadi kakaknya, sekarang adiknya.