Ramai-ramai, kakak beradik itu berbelanja bulanan. Karena katanya, kalau selalu Gempa yang memenuhi kulkas, itu menjadi tidak adil baginya. Halilintar mengalah, dia memutuskan ikut tanpa advokasi, Taufan bersedia, Gempa senang karena ada yang membantu, Blaze sudah berbeda alam, Ice diseret ikut oleh Taufan, Thorn antusias, Solar memprotes tapi tidak didengarkan.
Di swalayan, Gempa mengeluarkan lembar checklist, dan menyuruh saudara-saudaranya berpatroli ke setiap rak, agar barang incarannya ketemu dengan mudah, dan mereka bisa menghemat waktu.
Gempa sengaja menggagas kegiatan merepotkan ini. Gempa sejujurnya ogah mengajak pasukan seper-rahim-annya pergi ke swalayan. Selain karena mereka tidak mudah dikoordinir, beberapa di antaranya juga ialah biang masalah, meskipun salah satu dari biang masalahnya telah berpulang ke Tuhan. Gempa sengaja, dia memang memaksa para bajing loncat itu pergi keluar, sebab Gempa tidak ingin suasana rumah selamanya berkabung. Seseorang mesti meniti kembali kehangatan keluarga, dan Gempa tidak bisa berharap lebih pada ayahnya, karena ayahnya sibuk menekuni majalah Bitcoin Ringgit Malaysia Synthetic semenjak Blaze meninggal. Kata Om Pian, Amato juga stress, Amato perlu pengalihan sejenak, BTC dan MYR, berkedok memancing ikan gurame.
Baru menginjakkan kaki di teras swalayan, Thorn sudah cek-cok dengan Solar. Melangkah ke depan, kaki Halilintar malah terinjak oleh Ice, dan kemudian, Halilintar menceracau. Pergi masuk ke dalam, melintasi etalase, Taufan sudah melesak pergi ke manekin pajangan, dan memakai sayap kupu-kupu tiruan.
Buat manusia biasa seperti Gempa, sulit sekali mengasuh banteng tukang marah-marah, kupu-kupu sinting, beruang kutub, ulat bulu hijau, dan kunang-kunang berpantat menyala.
Sejenak, Gempa termangu di depan rak kopi-kopian. Mereka kehilangan seekor ayam kampung. Ketiadaannya menyisakan celah kosong yang sebelumnya Gempa anggap sebagai sesuatu yang hilang dari serangkaian liburan keluarga.
"Eh, Ice, kamu masih kepengen ngawinin (Nama)?" Tanya Taufan, penasaran. Suaranya berbisik, tapi karena Gempa berdiri di sebrang mereka, memunggungi mereka di rak kebutuhan dapur, Gempa jadi bisa menguping.
"Masih." Ice menjawab alakadarnya. Kalau bohong, itu namanya dosa.
"Tapi kan, Ice, (Nama) tuh, adik ipar kamu." Taufan menipiskan bibir.
"Cintaku pada (Nama) seperti ingus, bleber-bleber." Ice membalas sengit.
"Kalo enggak jodoh, gimana?" Taufan menyahut.
"Bumi luas banget, untung kita ketemu. Kalo udah gini, namanya jodoh, Bang." Ice menimpali. Dia bikin teori sendiri, jadi Gempa tak begitu menggubris.
Tak lama kemudian, Thorn dan Solar menghampiri.
"Shh!" Solar mengajak bicara. "Halilintar itu, terbuat dari tanah sengketa, ya? Kerjanya marah-marah melulu."
Ice memerhatikan Halilintar. Halilintar sedang bete. Katanya, urusan pekerjaannya tidak lancar, karena profit tahun ini tak lebih besar dari rekapitulasi target pemasaran sewaktu bagiannya masih dipegang Amato, padahal Halilintar marah karena sedih, sebab ia teringat pada Blaze.
"Halilintar dulu bukan minum ASI, tapi—" Ucapan Taufan berhenti, ketika Halilintar pergi mendekat.
"Kalian berempat, mau ngapain jongkok-jongkok begitu?" Halilintar mengabsen wajah Taufan, Ice, Thorn, dan Solar.
"Log in epep." Jawab Solar, siap siaga, sembari memperlihatkan homescreen gim yang dimaksudkannya pada Halilintar.
"Bang Halilintar, Bang Halilintar," Taufan memanggil. "Udah lama kita enggak liburan, ya. Liburan yuk, aku kepingin mendaki gunung lagi! Kayak waktu itu, pas Blaze baru pulang dari bulan madu. Kita ajak (Nama) juga. Soalnya kalau pergi bareng-bareng begini, aku jadi inge—"
![](https://img.wattpad.com/cover/370232738-288-k499482.jpg)