Lantai bergetar hebat, debu berguguran dari langit-langit, pilar-pilar besar dan dinding aula mulai retak. Asap hitam itu bergerak dan merasuki putranya kecilnya yang duduk di singgahsana, melewati mulut, hidung, mata, telinga bahkan pori-porinya hingga badannya kejang dan kering kerontang. Radhityajaya tak bisa berbuat banyak selain menatap ngeri.
"Kakanda... Kakanda..."
Raja itu menoleh, mendapati istri keduanya, Selir Kayla, berdiri di pintu masuk yang tinggi dengan gaun putihnya. Wanita itu merintih meminta tolong. Lantas Radhityajaya datang berlari, namun tiba-tiba asap hitam menerkam istrinya dan lenyap begitu saja. Langkahnya terhenti panik, dia berbalik lagi, menatap sekeliling. Arya kecil juga menghilang.
Lantai bergetar makin hebat. Langit-langit mulai berjatuhan. Dinding-dinding ambruk. Kaca-kaca pecah. Radhityajaya segera keluar dari ruangan. Dia berlari menyusuri koridor yang juga bertanda-tanda akan runtuh. Akhirnya ia berhasil keluar dari bangunan besar yang disebut Balai Agung itu. Bangunan paling tinggi nan megah di istana. Atap utama yang seperti candi berbentuk limas bersusun tujuh dengan kubah emas di puncaknya. Pilar-pilar di serambinya dari marmer. Pondasinya yang paling tinggi di istana hingga harus ada tangga yang cukup banyak dan di kedua sisi ujungnya ada patung Rusa Sita yang meringkuk dari emas yang merupakan lambang kerajaan. Dia menuruni tangga itu dengan tergopoh-gopoh. Dalam satu kompleks bangunan itu ada bangunan-bangunan lain yang juga merupakan kantor penting pemerintahan yang di jarak taman luas, juga mulai runtuh.
Bangunan-bangunan inti istana memang punya taman yang luasnya masing-masing untuk menyejukan, namun kini dipenuhi orang-orang panik.
Napas Radhityajaya memburu. Ia makin panik melihat langit yang ditutupi awan gelap dan orang-orang melayang dengan sayap dan selendang yang bersinar. Mereka menyerang prajuritnya. Jeritan dari rakyat yang ada di halaman istananya memekakan telinga. Bumi berguncang makin dahsyat, beberapa bagian atap dan menara Balai Agung runtuh.
Brrrmmm!!!! Duuaarr!!! Dentuman kuat memekakan telinga. Gunung Lawu yang menjadi lanscape Pastika meletus mengeluarkan awan berpetir. Orang-orang makin panik. Radhityajaya tercekat tak berdaya.
Mendadak, bruakk!! Balai Agung itu runtuh. Sebuah kepala raksasa mengerikan muncul dari reruntuhan-reruntuhannya. Kepala itu melayang dan besarnya setengah bagungan tinggi di istananya itu, asap-asap yang menelan istri dan putranya berputar-putar mengelilingi kepala itu. Itu adalah wujud kepala Kala Rahu. Rambutnya panjang dan kusut, telinganya lancip, hidungnya bulat, matanya lebar ingin keluar, serta gigi taring dan lidah panjangnya datang dengan cepat ke arah Radhityajaya.
"Aaaaa!!!!" Dia menjerit ketakutan. Dan... hap! Ditelanlah tubuhnya.
"Baginda. Baginda Prabu! Baginda Prabu!"
"Hah!" Napasnya memburu. Akhirnya dia terbangun juga. Radhityajaya langsung menegakkan punggungnya, mengatur napasnya yang tercekat. Tubuh telanjangnya berkeringat dingin. Badannya gemetar hebat.
"Baginda Prabu, Anda baik-baik saja?" tanya wanita cantik di sampingnya, yang sama-sama telanjang.
Radhityajaya menatap bingung. Dia mendongak memandang langit-langit. Hening. Langit-langit itu tak jatuh, dinding masih berdiri, dan bumi masih tenang. Dia bernapas lega menyadari itu adalah mimpi. Mimpi yang semakin mengerikan setiap malamnya.
"Baginda lihat saya." Wanita muda itu memegang wajahnya, menatap seolah ingin menenangkan. "Ada apa, Baginda?" tanyanya lembut.
Raja paruh baya itu menghela napas besar. Lalu menjatuhkan dagunya ke bahu wanita telanjang itu. "Citra... Aku bermimpi buruk lagi. Begitu mengerikan. Aku melihat langit runtuh dan Pastika hancur lebur. Aku melihat Arya dan Kayla menjerit kesakitan, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tolong aku, Citra. Aku tak sanggup lagi. Mimpi ini terlalu buruk bagiku," jelasnya parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...