Jaka Tarub menatap lekat bayangan itu. Takjub. Bagaimana bisa sebuah bayangan tak mengikuti objeknya? Bayangan Semar itu tetap di sana, berdiri di dinding. Karsa menaruh obornya, disandarkan ke stalaktit. Apinya mengecil karena udara yang pengap. Bulir-bulir peluh muncul di kening mereka berdua.
"Siapa sebenarnya gadis itu, Raden? Benarkah Anda menemukannya di hutan sendirian?" tanya Karsa yang makin curiga pada Wulan setelah mendengar perkataan Semar tadi.
Jaka menghela napas besar. Bingung harus jawab apa, karena dia terikat pantangan Wulan. Tak boleh ada yang tahu bahwa dia seorang bidadari, apalagi yang mencuri selendangnya adalah Jaka sendiri.
Jaka mendesah dan duduk di batu besar menghadap Karsa. "Dia hanyalah gadis biasa yang tersesat di hutan. Aku sudah berjanji untuk menjaganya. Dia telah banyak membantuku sepeninggalan Dayang Sri."
"Sebelum meninggalkan desa Nalin, Anda bilang Wulan dan Anjani akan sangat berkontribusi. Apa artinya itu?" lontar Karsa.
Jaka Tarub hanya diam.
"Apa Anda yakin Nimas Anjani akan berhasil membujuk ayahnya untuk berpihak pada kita? Apa Raden benar-benar punya perasaan padanya?"
Jaka menatap tajam. "Kau memang lebih tua dariku, Karsa. Tapi ingat aku adalah tuanmu. Jangan melewati batas," ucapnya tegas.
Karsa langsung menunduk. "Maafkan hamba, Raden."
Jaka melesahkan napas besar dan memalingkan wajahnya. Kekosongan menganga untuk beberapa saat.
"Raden, bayangannya bergerak," celetuk Karsa tiba-tiba.
"Apa maksudmu bergerak?" timpal Jaka sembari bangkit dan menoleh ke bayangan Semar yang masih menempel di dinding.
Benar saja. Bayangan itu bergerak. Tangannya bergerak-gerak, lalu tiba-tiba bayangan itu menjadi timbul. Berbentuk, seolah keluar dari dinding. Begitu juga bagian badan lainnya. Hingga terciptalah sosok hitam berdiri tegak di depan mereka. Jaka dan Karsa mundur beberapa langkah, waspada.
Sosok itu mulai melangkah, lalu wajahnya memutih, hingga terlihat jelaslah badannya. Dia sangat mirip dengan semar. Sama-sama gemuk, bulat pendek. Hanya saja kepalanya botak, berkumis, dan mata lebar.
"Hai, Kisanak-kisanak! Kalian mengecualikan aku dalam obrolan," seru sosok itu cepat, seolah sedang terburu-buru.
Jaka dan Karsa tertegun.
"Kau adalah..." Jaka berusaha menebak.
Sosok itu tersenyum dengan muka konyolnya. "Aku adalah Bagong!" serunya bersemangat sambil membuka tangannya.
"Kau benar-benar diciptakan dari bayangan Semar?" gumam Karsa yang masih dalam pandangan tak percayanya.
Bagong kembali nyengir. "Bapakku, Semar, adalah Dewa yang turun ke Bumi. Tapi kalau kau tanya bagaimana Punakawan(sebutan untuk Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong) dilahirkan, itu akan menjadi cerita berjilid."
Jaka mendekat. "Pamanda, boleh kutanya sesuatu?"
"Akhirnya kau melibatkanku juga."
"Pamanda, apa kau pernah bertemu Sang Hyang Antaboga? Bagaimana caranya menghilangkan kutukan yang dijatuhkan olehnya?"
Bagong memiringkan kepalanya, menatap menyelidik. "Tidak ada. Kutukan Sang Hyang Naga tak bisa dipatahkan, bahkan oleh Dewa."
Jaka menunduk murung. Kepalanya dipenuhi pikiran-pikiran yang menyesakkan. "Apa perang adalah satu-satunya jalan merebut kembali takhtaku sebagai Putra Mahkota?"
Bagong kembali menegakkan lehernya, lalu tersenyum lembut. "Kaulah yang lebih mengerti mengenai itu, bukan? Namun, sebenarnya apa yang kau cari, Nak?"
Jaka tertegun sejenak. Sebenarnya dia hanya ingin baik-baik saja, ingin yang dia miliki dulu kembali. "Aku hanya ingin kehidupanku yang dulu kembali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...