Kahyangan begitu damai, indah, namun tetap menyimpan misteri besar. Para penghuni langit menjalankan tugas sucinya masing-masing. Semua bidadari pelangi berkumpul di Taman Widodari mengelilingi kolam tirta sparsa, kecuali Wulan yang sudah jatuh dan Cende.
Rasati duduk di tepi kolam yang memantulkan wajahnya. "Apa Nawang Cende sudah keluar dari aulanya?" tanyanya.
"Sejak dia kembali dari Istana Putih belum keluar sama sekali. Menurut kalian apa yang terjadi?" sahut Manik.
"Dia pasti melakukan pertapa untuk bicara pada Dewa Surya. Kuharap semuanya baik-baik saja. Jika sukma Kala Rahu benar-benar terlahir kembali, bukan hanya dunia manusia yang akan kacau, tapi Kahyangan juga," timpal Asri.
Rasati menghela napas panjang. Ia memandang pantulan dirinya di permukaan kolam dan... "Lihat! Kolam ini akan menunjukkan kehidupan di bumi."
Dan semua bidadari melongok melihatnya.
###
Ting! Ting! Ting! Denting adu pedang nyaring terdengar di Benteng Prajurit. Pandya terus melakukan serangan demi serangan, mendesak para prajurit. Dia dikeroyok. Namun, kemampuannya yang hebat mampu membalikkan keadaan. Dia menangkis setiap serangan, menghindar dengan mudahnya, dan melakukan serangan balasan untuk belasan prajurit itu. Dia berguling, meloncat, berputar sambil mengayun kan pedangnya. Satu per satu prajurit itu terkapar, kesakitan keluar arena. Wajah Pandya begitu tegang, gerakannya mengganas. Dia menyerang semua prajurit yang tersisa, meski sudah sangat kelelahan.
"Hiaakk!!!" Dia berseru keras. Tiang!!! Dua prajurit terkapar. Tiga prajurit lagi menyerangnya bersamaan, dia berhasil menangkis dengan pedangnya. Sayangnya satu serangan lolos, dia jatuh tersungkur. Sikutnya tergores. Pemuda itu langsung mengambil pedang prajurit yang terkapar dan bangkit kembali. Dia kembali berteriak, kencang. Dengan lihai dia memutar-mutarkan dua pedangnya, dan langsung menyerang. Beberapa prajurit jatuh dan berjalan kesakitan keluar. Pandya mengeluarkan seluruh kekuatannya, ia melakukan serangannya pada prajurit terbaik yang masih bertahan, serangan itu berhasil ditahan. Mereka saling menekan dengan pedang. Tak ada yang mengalah meski tangan keduanya sudah sangat kelelahan, terutama Pandya dengan dua pedangnya. Hingga sekonyong-konyong satu prajurit yang terkapar bangkit dan mengayunkan pedangnya ke Pandya dari belakang. Pandya menyadari itu dari bayangan di lantai. Dia akhirnya menjatuhkan kedua pedangnya, lalu berputar dan menjungkalkan dirinya. Dua pedang dengan cepat mendekat ke dadanya. Itu semua sudah ia perhitungkan, Pandya sudah mengambil keris Mpu Gardajta dari pinggangnya, menggunakannya untuk menangkis. Seketika dua pedang prajurit itu hancur begitu berbenturan dengan keris pusaka itu. Kepingannya berterbangan bahkan hingga melukai dua prajurit itu.
Pandya berdiri tegap. Napasnya memburu, bahuna naik turun, dan peluh membasahi seluruh badannya. Semua prajurit di sana menatap tercengang, beberapa masih meringis kesakitan.
"Itu sudah cukup." Sebuah suara lembut terdengar.
Pandya menoleh, di pinggir lapangan sudah ada Anjani dengan gaun cantiknya. Ia segera menyarungkan kerisnya dan menghampiri gadis pujaannya itu.
"Kau latihan dengan amarah. Para prajurit kewalahan dengan itu," celetuk Anjani.
Pandya mengelap keringatnya, kemudian berjalan ke kanopi dengan penuh minuman di meja. Anjani mengikuti.
"Mereka sengaja mengalah padaku. Mereka tak mau melukai seorang pangeran," gumam Pandya.
Anjani mendengus, menatap lekat Pandya yang menenggak habis teko air. "Ibundamu pergi dari rumah, ayahandamu menikah lagi, dan musuhmu mengibarkan bendera perang. Kamu seperti anjing menyedihkan," gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...