20 | Sri Nareswari

36 7 0
                                    

Senja kali ini buram, awan-awan mengekang matahari. Begitu usang untuk sebuah perasaan. Jaka Tarub termenung di bingkai jendela besarnya, menatap galau selat Madura di ujung sana. Diam di sela angin yang berhembus membawa kebingungan. Di bawah sana, di pantai, obor-obor dinyalakan, janur kuning didirikan. Sebuah altar dibangun untuk pernikahan. Entah hingga kapan dia masih bertahan, menolak perasaannya sendiri, tidak mengakui bahwa ia memang mencintai Nawang Wulan. Malam ini gadis itu akan menikah. Jaka tahu, ia harus melepaskan segala perasaan membingungkannya ini.

"Raden..." Karsa menghampirinya. "Semua sudah siap."

Jaka tetap diam.

"Raden?" panggil Karsa sekali lagi.

"Tidak seperti ini yang kubayangkan saat meninggalkan Jalada. "Kita sudah berbulan-bulan di sini, tapi kita tak pernah maju. Kita malah menjual seorang wanita untuk membeli beberapa prajurit luar."

"Ini adalah awal, Raden."

"Bisakah aku menjadi raja jika aku tak punya pasukan?"

Karsa mengambil satu langkah mendekat. "Paduka... kita berada di pihak yang benar, itu sudah lebih dari cukup."

Akhirnya Jaka turun dari jendela, lalu melangkah lemas keluar diikuti Karsa. Ia berjalan menyusuri koridor, pikirannya kalut dalam perasaan yang tak dapat ia mengerti. Hingga langkahnya terhenti saat di depan kamar Wulan, dan sedetik kemudian pintu itu terbuka.

Wulan keluar dengan gaun pengantinnya. Kebaya hitam dengan batik motif bunga-bunga, rambutnya disanggul besar dengan rangkaian bunga melati dan tiga kembang goyang menancap di sana. Sederhana, tapi kecantikannya sungguh luar biasa. Sejenak Jaka terpana. Dia menatap lurus Jaka, melangkah mendekatinya.

"Inikah yang kamu mau, Jaka? Sungguh?" cecarnya.

Jaka hanya diam, tatapannya begitu pilu.

"Sudah kubilang, aku harus ada dalam perlindungan raja Jawa, bukan Madura. Kau melanggar janjimu, Jaka."

"Apa yang harus kulakukan, Wulan? Aku sudah kala."

Wulan menggeleng. "Perang bahkan belum dimulai. Mengapa kau sangat putus asa?"

"Apa yang kauinginkan, Wulan?"

Dia maju lebih dekat lagi. "Sebuah kejujuran. Kamu tidak bisa menyembunyikan cinta. Akuilah selagi aku belum menjadi milik orang lain." Lalu ia melangkah mundur, tatapannya memelas. "Jujurlah pada dirimu sendiri, Jaka," tambahnya. Kemudian ia berbalik dan pergi diikuti dayang-dayang.

Jaka hanya terpaku melihatnya pergi. Perasaannya semakin bingung saja.

Sementara itu, Anjani dan Lingga akhirnya sampai juga di Kenta. Gadis itu membuka tudung kepalanya, memandang kota pesisir itu dengan takjub. Rumah-rumah yang mulai bercahaya untuk menyambut malam, dan keraton kayu yang menjulang tinggi di tepi pantai. Akhirnya impiannya menemui Jaka tinggal beberapa langkah lagi. Rindu itu makin besar saja rasanya.

Srrtt!

"Apa itu?" gumam Lingga siaga mengeluarkan pedang besarnya.

Anjani melihat ke semak-semak. "Tidak! Tunggu," selanya yang langsung turun dari kudanya. "Dia adalah temanku," katanya.

Seekor harimau besar menampakkan dirinya dan menghampiri Anjani. Gadis itu tampak bahagia. Dia mengelus bulu lehernya. "Kau sudah puas berpetualang? Berburu? Sebentar lagi kita akan menemui Arya Wijaya, penyelamatmu. Akhirnya kita di sini, Raynar."

Lingga hanya mengangkat kedua alisnya, melihat hal yang tak biasa itu. "Itu harimau... dan terlalu besar untuk harimau Jawa," gumamnya.

Anjani sudah terbiasa dengan orang-orang yang kaget. Dia terus mengelus Raynar. "Dia bukanlah harimau biasa. Dia bisa membakar segalanya."

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang