Nawang Cende mendarat di Lembah Suci. Warna jingga terlukis di sepanjang lintasannya. Dia mengambil napas dalam, memandang sekeliling. Jelas, tempat ini sudah banyak berubah, namun perasaan yang ditimbulkan tetap membuat terpukau. Matanya menemukan sebuah bayangan di dinding padahal tak ada orang yang berdiri di sana. Bayangan itu bergerak dan berjalan masuk. Cende meyakinkan langkahnya memasuki reruntuhan piramida raksasa itu.
Dia memasuki sebuah aula dengan pilar-pilarnya yang sudah roboh. Para Pendekar Hitam meninggalkan beberapa barang-barangnya di sana, seperti obor-obor di dinding dan panji-panji yang masih membentang. Ruang itu sangat gelap karena cahaya matahari hanya datang dari pintu masuknya saja. Cende sama sekali tak memedulikan itu. Dia berjalan masuk ke ruangan gelap di mana ada secercah cahaya menyala. Langkahnya terhenti di tengah ruangan yang mirip gua itu, sarang barongan. Dia berputar menatap sekeliling, merasakan puluhan pasang mata sedang mengawasi.
Lalu pandangannya berhenti ke cahaya itu, seseorang yang sedang memegang obor. Dia memperhatikannya dengan seksama, tapi wajahnya masih tak jelas. Dikibaskan tangannya, secara ajaib api di obor itu mendadak membesar. Baru terlihatlah sosok itu. Dia adalah Bagong.
"Kau memang bidadari warna terhebat dalam pelangi," ucap Bagong.
Cende segera membungkuk. "Pamanda..." sapanya. Api obor kembali mengecil.
"Menurutmu apa manfaat yang didapatkan makhluk hidup dari matahari?" Bagong tiba-tiba memberinya pertanyaan.
"Cahaya matahari adalah makanan tumbuhan, menerangi bumi dan mengekang kekuatan negatif, serta membantu aktivitas manusia seperti mengeringkan padi dan garam."
Bagong tersenyum lebar. Entah itu sebuah sandi untuk masuk atau teka-teki dewa, yang jelas Cende menjawabnya dengan tepat.
"Silakan ikuti aku," cetusnya yang kemudian berjalan ke singgasana bundar pemimpin barongan itu yang sudah dibuka pintu rahasianya oleh Wulan kala itu dan memasukinya.
Cende kembali memandang sekeliling. Merasakan dengan jelas barongan yang menatapnya dari kegelapan. Dia pun mengikuti Bagong menuruni rangga rahasia itu.
Dia tak banyak bicara, terus menuruni ratusan anak tangga itu hingga sampai di gua penuh stalaktit yang langit-langit tingginya dipenuhi cacing-cacing bercahaya bak bintang. Bidadari itu terpesona.
"Lewat sini," ujar Bagong yang kemudian memasuki sebuah celah di balik stalaktit.
Cende terus mengikutinya. Pijakan yang tak lagi rata dan udara pengap sungguh tak membuatnya kelelahan. Hingga sampailah ia di ujung lorong gelap itu. Matanya langsung membelalak seperti halnya Nawang Wulan pertama kali melihat pemandangan itu. Reruntuhan Benteng Dewa. Cahaya matahari datang dari lubang besar di permukaan yang tinggi ratusan meter menerangi bangunan itu. Sungai yang melintasi depan benteng bergemerisik.
"Bapak sudah menunggu," kata Bagong. Ia kembali menuntun Cende memasuki bangunan putih paling megah nan indah yang pernah ada di muka bumi itu.
Langkahnya di antara tengkorak-tengkorak yang ada di jembatan menuju benteng dan semua kengerian di dalamnya tak membuat Cende ciut. Bagaimanapun dia adalah bidadari api yang pemberani. Itulah mengapa ia mendapat selendang jingga.
Sejenak ia berhenti melihat tengkorak nada di gerbang masuk benteng itu. Tak bisa membayangkan betapa mengerikannya pertempuran antara Dewa dan Dedemit dahulu. Koridor-koridor panjang itu. Hingga sampailah ia di sebuah ruangan besar yang atapnya terbuka hingga cahaya bisa masuk. Cende kali ini terpegum, napasnya tertahan melihat sebuah lesung raksasa yang merupakan jelmaan tubuh raksasa Kala Rahu.
"Ekspresimu sama persis dengan saudarimu ketika pertama kali masuk ke sini," ucap suara dari kegelapan.
Cende memperhatikan sosok itu. Dia langsung memberi hormat ketika sosok itu berjalan ke cahaya. Tubuh pendek seperti sedang duduk, rambut putih tapi berjambul, tatapan mata sedih namun tersenyum. Meski wujud tubuhnya adalah sebuah kutukan, tapi dialah bentuk keseimbangan sifat dasar manusia. Dialah Semar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Narrativa StoricaJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...