7 | Citra dan Jabang Bayinya

37 4 0
                                    

Hari mulai sore. Burung-burung kembali pulang. Gunung Lawu kokoh berdiri tersinari mentari sore. Para tabib dari luar masih mengantri panjang di Graha Ratu. Tak ada satupun dari mereka yang berhasil. Dalam barisan itu ada seorang tabib suruhan Adipati Wandra yang membawa racun.

Sementara itu Citra baru saja memasuki istana. Langkahnya tergopoh-gopoh melewati gerbang kedua.

"Sampai di sini saja. Aku akan masuk sendiri dari sini," cetusnya pada dua prajurit yang mengawalnya.

Dia mencincing gaunnya. Berjalan lebih cepat melewati gerbang ketiga. Sementara dua prajurit itu sudah kembali ke Benteng Prajurit. Citra melalui halaman istana dengan cepat. Koridor-koridor ia lalui tanpa memedulikan sekitar.

Ia tiba-tiba berhenti. Napasnya naik turun, lelah, tapi juga takut. Berpikir di mana sekiranya Raja sekarang. Lalu ia melihat tandu Semut Ireng datang dari arah Balai Agung. Dia langsung kembali berjalan, bersembunyi-sembunyi ke Graha Raja. Sebisanya ia harus menghindari dayang-dayang.

Hingga akhirnya ia berhasil memasuki Graha Raja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hingga akhirnya ia berhasil memasuki Graha Raja. Langkahnya semakin cepat menyusuri tangga-tangga dan koridor-koridor di sana. Ia segera bersembunyi ketika melihat Patih Kebo Abang bersama Laksmana Mardi. Dia berjalan memutar dan berbelok di tikungan terakhir menuju kamar Raja, hingga mendadak ia berpapasan dengan Pandya.

"Raden?" Dia amat terkejut.

"Kamu sudah kembali. Kenapa kamu terburu-buru?" tanya Pandya.

Citra mendadak kehilangan kata. Dia memegangi perutnya. Apa jadinya jika Pandya tahu bahwa ia sedang mengandung adiknya? "Saya sudah terlambat menyajikan wedang untuk Prabu, Raden," ucapnya terbata.

"Lalu di mana wedangnya?" Pandya terheran melihatnya datang dengan tangan kosong.

Citra makin gugup. "Saya harus menanyakannya. Biasanya wedang herbal tidak pasti, kadang beliau suka manis kadang juga tanpa gula."

"Tak usah. Kepala Tabib baru saja memberinya tonik. Jangan ganggu Prabu," pungkas Pandya. "Sekarang ikut aku ke Graha Ratu. Ini sudah saatnya pengobatan sore. Para tabib pasti sudah menunggu," tambahnya yang kemudian mulai melangkah.

Citra terdiam untuk sebentar. Bingung. Tapi ia tak punya pilihan. Dia pun berbalik dan mengikuti Pandya.

***

Di Graha Ratu para tabib masih mengantri panjang di koridor, beberapa perawat dan dayang keluar memuntahkan isi perutnya karena bau Ratu, menjadikan bangunan itu makin bau saja meski para pelayan terus membersihkannya. Pandya masuk berjalan dengan gagahnya, tak menunduk ataupun mual sama sekali. Pengawal dan para pengikutnya berhenti di koridor depan kamar Ratu. Dia mengambil satu kain yang digunakan sebagai masker dan masuk ke kamar dengan pintu ukiran burung Sawunggaling itu, begitu juga Citra yang mengikutinya di belakang.

Pandya mengambil tempatnya di balik tirai. Tak ada siapa-siapa yang menemaninya kali ini. Sementara Citra langsung mendekat ke ranjang Sumitra. Asap dan aroma rempah tak mampu menyembunyikan kebusukan kulit sang Ratu. Kepala Tabib mendekat ke pintu, mengantarkan tabib luar yang gagal mengobati.

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang