Matahari bersinar menyinari hutan sekitar. Tenda-tenda sudah digulung. Para pendekar sudah bersiap mengusung panji-panji pemberontakan. Api unggun menyisakan arangnya yang basah oleh hujan semalam.
"Kau baik-baik saja, Wulan?"
Bidadari itu mengangguk lesu.
"Aku sudah memerintahkan seseorang untuk menjual batu permata yang kamu berikan. Kusuruh juga dia membeli beberapa kue manis untukmu," cetus Jaka Tarub.
Wulan tersenyum lembut. "Terima kasih, Jaka." Setelah itu dia pun masuk ke kereta kencananya.
Jaka mendekat, memegangi pintunya. "Perjalanan nanti mungkin akan sedikit berguncang."
"Tenang saja. Aku akan baik-baik saja."
Jaka pun mengangguk dan menutup pintunya. Dia menghela napas besar dan membenarkan posisi wadah anak panahnya yang miring, lalu berjalan ke barisan depan untuk menaiki kudanya di samping Karsa.
Perjalanan kembali dilanjutkan.
***
Asap mengepul saat pelayan itu mengipasi tungku kecil dengan wajan berisi lilin panas. Kain-kain panjang yang dijemur melambai diterpa angin. Anjani yang sudah memakai pakaian dan perhiasan indahnya tampak cantik seperti biasa duduk dibangku kecil bersama beberapa pelayan wanitanya, mengelilingi tungku kecil itu di teras belakang. Dia hanya memeluk lututnya dengan bosan, membiarkan pelayan-pelayan lain membatik.
"Hmmm..." Dia menghela napas besar. "Gara-gara Panji kita harus membatik di sini. Padahal di paviliun lebih sejuk," gerutunya.
"Di mana pun itu Nimas tak membatik, hanya duduk dengan bosan," celetuk pelayan paling muda dengan akrabnya.
"Ck!" Anjani berdecak. "Itu karena lilinnya tidak bagus, terus saja menetes di sembarang tempat, membuat kainnya rusak."
"Itu mah Nimas saja yang nggak ahli." Pelayan muda itu kembali berceletuk.
"Kamu bilang apa, Siti?" Anjani sedikit meninggikan nadanya.
Pelayan yang lebih tua menyikut pelayan bernama Siti itu. "Perhatikan bicaramu, Nak. Bagaimana kalau Tumenggung dengar."
"Hahaha..." Anjani tertawa. "Tak apa. Hanya ada kita-kita di sini," timpalnya ramah.
"Tumenggung datang!" Tiba-tiba pelayan lain berseru.
Anjani menoleh. Benar saja, ayahnya dan Caraka sedang mendekat. Buru-buru ia merebut kain dan canting yang dipegang Siti hingga lilin di cantingnya menetes-netes dan merusak motif kainnya. Pelayan muda itu tercengang, tapi ia bisa apa?
"Anjani." Semut Ireng datang.
Anjani yang sedang berpura-pura membatik menoleh. "Ya, Ayahanda?" tuturnya lembut.
"Aku ingin bicara sebentar. Kembalikan itu ke Siti."
Dia mengernyit bingung. "Apa maksud Ayahanda? Jelas-jelas ini buatanku."
"Mana mungkin kamu bisa membatik seindah itu. Cepatlah," pungkas Semut Ireng. Kemudian ia berbalik dan pergi.
Anjani kembali berdecak. Ia mengembalikan kain dan cantingnya ke Siti dengan sebal. Setelah itu bangkit dan mengikuti ayahnya.
Di sinilah mereka, di aula utama yang biasa digunakan Semut Ireng merapatkan sesuatu atau menjamu tamu-tamu penting. Langit-langitnya sangat cantik penuh ukiran dengan warna emas. Bangku-bangku panjang ada di samping kiri dan kanan lengkap dengan meja kaki pendeknya. Sementara di depan ada beberapa kursi yang lantainya lebih tinggi, biasa diduduki oleh keluarga mereka. Di dekat pintu ada set gamelan yang tertutupi kain-kain kuning untuk menjaga kualitas bunyinya. Tempat itu tampak mewah dan bersih, bahkan lantainya yang dari kayu sangat berkilau. Sungguh keluarga ini memanglah yang terkaya di kerajaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...