Jaka Tarub terpana melihat kota kelahiran mendiang ibunya itu. Ini adalah kali pertamanya ke Kenta. Dia berhenti di atas bukit bersama kudanya, memandang kota indah itu. Dari kejauhan sini terlihat sangat menawan, rumah-rumah dengan atap joglonya terlihat sangat rapat yang berbatasan langsung dengan selat Madura. Layar kapal-kapal tampak seperti daun yang mengapung dari sini. Yang paling menonjol adalah keratonnya yang kecoklatan, menjadi bangunan paling besar dan paling tinggi.
Keraton Nala atau keraton batang kayu.
Dengan perasaan lega, tapi juga berdebar, Jaka menghentakkan kudanya untuk memasuki kota itu bersama para rombongannya. Akhirnya mereka telah sampai setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, serta butuh pengorbanan.
Dia memimpin rombongannya melalui jalan-jalan kota menuju keraton. Panji Abrit Cemeng mereka usung dari ujung ke ujung rombongan. Orang-orang kota menepi dan memandangi mereka. Jaka memandang wajah-wajah polos itu.
"Buka gerbangnya!" seru prajurit dengan lantang.
Jaka dan yang lain memasuki halaman berkerikil itu. Dia turun dari kudanya dan memandang kagum sekeliling. Tembok merah kecoklatan mengelilingi keraton dengan panji-panji Niscala yang berkibar di atasnya. Bangunan keraton yang lebih megah dan indah penuh ukiran di dinding kayunya dilihat dari dekat. Prajurit-prajurit berdiri tegak dengan tombak-tombak panjangnya. Beberapa tombak dan perisai juga terpajang di rak, anak-anak panah memenuhi keranjang-keranjang. Sepertinya keraton ini sudah sial jika ada ancaman mendekat.
Pikiran Jaka kalut, membayangkan bagaimana ibunya saat semasa kecil berlarian di halaman ini. Bagaimanapun ibunya adalah pejuang tangguh, meski ia bukan keluarga inti dari Kenta. Ia masih ingat betul tentang cerita dari Dayang Sri yang ibunya melawan dengan keras kedatangan ayahnya untuk menaklukan daerah ini. Entah bagaimana mereka bisa saling jatuh cinta, ia juga penasaran.
"Selamat datang, Satria Karsa," seorang pria tua menyambut mereka. Ia langsung menyalami Karsa.
"Senang bertemu Anda kembali. Raden Arya Wijaya di sini," ia memperkenalkan Jaka.
Pria tua itu terkesiap. Ia mendekat dan berlutut. "Salam rahayu, Raden Arya. Suatu kehormatan saya bisa melihat Anda."
Wulan turun dari kereta kencananya dan juga terkagum dengan sekeliling. "Inikah rumah baru kita?" lontarnya sembari mendekat.
Jaka tersenyum. "Ya. Kita akan di sini sebelum kembali ke ibukota."
"Ah, mohon maafkan hamba, Raden. Semua sudah menunggu Anda di aula," cetus pria tua itu yang kemudian membimbing mereka masuk.
Koridor-koridor itu luas, ada tangga-tangga melingkar yang bercabang, mereka melalui lantai keramik mozaik warna-warni dengan atap terbuka. Wulan dan Karsa tetap berjalan di belakang Jaka.
Akhirnya mereka sampai di aula tahta. Lantai kayunya mengkilap, empat pilar besar menopang langit-langit berukir, seorang pria tua, Mandra sang Adipati, yang rambutnya bahkan putih semua tapi masih terlihat sangat bugat duduk di singgahsana kayu sejajar dengan kursi-kursi dewan inti kadipaten Kenta lainnya. Jaka, Karsa, dan Wulan menghadapnya.
"Raden Arya Wijaya, Putra Mahkota Sejati dan Pewaris Sah Kerajaan Niscala dan Ujung Timur Jawa," seru Karsa lantang.
Hening. Semua orang menatap Jaka.
"Bagaimana kami tahu dia putra asli Prabu dan Selir Kayla?" lontar salah satu dewan.
Jaka melangkah maju. Tatapannya tajam. "Aku dinobatkan sebagai Putra Mahkota oleh Prabu dan semua orang-orang penting di kerajaan berlutut padaku. Aku dilarikan oleh dayang pengasuhku dari pembunuhan ratu, banyak orang yang mati bahkan saat dalam perjalanan kemari. Aku telah melalui banyak rintangan sebelum berdiri dihadapanmu saat ini. Bagaimanapun juga aku akan duduk di tahta raja, dan saat itu terjadi hal pertama yang kulakukan adalah menghukum orang-orang yang menentang keabsahanku," ucapnya dengan nada tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...