17 | Demi Cinta

30 6 0
                                    

Radhityajaya terbaring di ranjang besar itu. Badannya semakin kurus, napasnya juga memberat. Kepala Tabib yang memeriksanya mengatakan bahwa organ dalamnya sudah rusak dan tak bisa lagi disembuhkan. Asap dari pembakaran rempah dan herbal di mangkuk untuk pengobatannya menyebar memberi aroma khas pada kamar itu.

"Berapa lama aku bisa bertahan?" tanya raja malang itu.

Kepala Tabib menunduk sedih. "Anda tak akan bisa melewati tahun depan. Hamba harap para Dewa berwelas asih pada Anda, Baginda Raja."

Radhityajaya menghela napas besar. Ia sudah pasrah akan kondisinya. Lalu ia menoleh ke Resi Agung yang juga ada di sana. "Apa ada pergerakan dari serikat Pendekar Hitam?"

Pak Tua itu menggeleng. "Mereka tetap di Kenta. Mungkin itu memang bukan dia, Baginda."

Raja lemah itu tampak sangat sedih menatap langit-langit. "Dia adalah putra sulungku, Arya yang paling kusayang. Tujuh belas tahun lalu dia menghilang begitu saja dan mayat-mayat bergelimpangan di Graha Pewaris, lalu tiba-tiba piyamanya ditemukan 200 kilo meter dari Pastika di Bengawan Solo. Aku sangat menyayanginya. Sampai detik ini aku masih tak mempercayai kematiannya."

"Jika Serikat Pendekar Hitam menyembunyikan Pangeran Arya, bukankah mereka akan menyurati istana sejak awal? Arya Wijaya pasti langsung menuju Pastika bukannya malah ke Kenta."

"Aku berharap bahwa pemberontakan di timur memanglah putraku."

Resi Agung dan Kepala Tabib hanya saling melempar pandang. Bingung. Cinta seorang ayah memanglah sebesar itu.

"Baginda, ini Kasim Kepala!"

Pintu dibuka, tiba-tiba masuklah kasim tua itu. Kamar itu sudah seperti panti jompo saja, tapi hanya merekalah yang dipercaya oleh Radhityajaya.

"Baginda, Pangeran Pandya baru saja kembali."

Semua orang terkesiap. Raja menegakkan punggungnya.

"Dia baik-baik saja?" tanya Radhityajaya cepat.

Kasim itu mengangguk. "Dia tidak tampak terluka."

"Lalu bagaimana dengan putri Lakeswara?"

"Dia juga terlihat baik-baik saja dan langsung pulang, Baginda."

Radhityajaya langsung bangkit. "Suruh Pandya ke Balai Agung sekarang," cetusnya cepat.

***

Dengan masih mengenakan pakaian lamanya yang sudah kotor dan kumal Pandya memasuki aula besar itu. Lelah dan sedih di wajahnya terlihat sangat jelas. Apalagi dari rambutnya yang acak-acakan itu. Dia berjalan menuju singgasana di mana ayahnya sudah duduk di sana meski tanpa mahkota dan pakaian kebesarannya. Bilah-bilah cahaya sore menembus jendela-jendela patri. Hening. Langkah kaki Pandya terdengar jelas.

"Kau membahayakan dirimu," ucap Radhityajaya tanpa basa-basi.

Langkah Pandya terhenti, ia menatap lurus ayahnya dengan tangan kanan di gagang kerisnya. Gelisah. "Aku hanya ingin berpetualang, menjadi seorang pengembara dan ksatria hebat seperti Ayahanda saat masih muda dulu. Aku ingin kisahku yang diukir di pondasi tempat ini sama panjangnya dengan punya Ayahanda dan raja-raja terdahulu."

"Kau pergi karena kau marah, bukan karena itu," kulit Radhityajaya dengan suaranya yang serak.

"Tidak bolehkah aku marah dalam situasiku saat ini?"

Radhityajaya bangkit dan berjalan lemah menuruni undakan. "Dengarkan aku, Nak. Aku mengirim ibumu ke Keraton Merah karena aku tak ingin dia terus dihina dan difitnah oleh rakyat. Aku memberi gelar tertinggi pada Citra untuk melindungi keluarga kita."

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang