Beberapa hari ini hujan tak menentu. Nawang Rasati kadang menurunkannya pagi, kadang sore, kadang di antara keduanya, dan kadang seharian. Itu membuat perjalanan Jaka Tarub menjadi terlambat. Seperti hari ini, dia dan rombongannya berangkat siang karena hujan turun dengan lebat di pagi hari. Tanah becek dan genangan mereka lalui, jejak ratusan kaki itu membekas berkilo-kilo meter. Mereka sudah memasuki wilayah Kadipaten Medang.
"Raden, kita bergerak dengan sangat terang-terangan. Medang adalah kadipaten kuat yang dulunya benteng perbatasan. Kita harus siaga dengan segala resiko yang menanti di depan," ucap Jaka Karsa yang selalu berkuda di samping Jaka Tarub.
"Kau benar, Karsa. Kita harus lebih waspada dan mencari tempat berkemah yang aman. Namun, Medang adalah kota perdamaian antara Niscala dan daerah penaklukan. Adipati Medang tidak akan menyerang sebelum adanya perintah dari raja," balas Jaka.
Karsa menatap lekat. "Menurut Anda Baginda Raja sudah tahu ini semua?"
Jaka diam sejenak. Kalut. "Tentu saja. Kita berada di wilayahnya. Mungkin Ayahanda juga mengira bahwa aku masih hidup."
Karsa beralih memandang ke depan, ke tombak salah satu ksatria yang mengibarkan bendera hitam merah. "Jika Prabu tahu, maka Ratu lebih tahu lagi."
Sementara di belakang mereka, Nawang Wulan sedang ada di dalam kereta kencana tertutup, mulai terbiasa akan guncangan keretanya. Yang bisa ia lakukan di dalam hanya merenung sambil mengintip dari sela-sela pintu kereta berukir dengan lubang-lubang. Malam ini adalah malam satu suro, biasanya dia dan saudarinya akan turun untuk mandi di Ranu Kumbolo. Sedari pagi tadi ia merasakan nyeri di perutnya, dan sekarang nyeri itu makin sakit. Dia terus memegangi perutnya.
Bruak! Roda keretanya tersandung batu besar, membuat guncangan hingga ia terbentur. "Aww!!" Ia berseru kencang hingga Jaka yang berkuda di depan mendengarnya.
"Berhenti!" teriak Jaka. Ia memutarbalikan kudanya menuju Wulan.
Salah satu pendekar langsung membuka pintunya.
"Kamu baik-baik saja, Nawang Wulan?"
Gadis cantik itu mengangguk. "Kepalaku sedikit terbentur karena guncangan, tapi aku baik-baik saja."
"Kamu yakin? Kamu terlihat pucat."
"Ya. Hanya saja perutku nyeri sedari pagi dan..." Kalimatnya terhenti tiba-tiba. Ia melihat bercak merah di kursi yang baru saja ia duduki. Seketika tubuhnya gemetar, napasnya naik turun.
"Wulan, ada apa? Kamu membuatku takut," tekan Jaka.
Ia tiba-tiba melirih. "Aku sedang datang bulan," ucapnya parau. Lalu seketika ia menangis. Kini ia sepenuhnya seorang manusia, seorang wanita normal.
***
Sementara itu di Kahyangan keenam saudari Nawang Wulan sedang berkumpul dan mencemaskan keadaan.
"Bulan akan menghilang malam ini," gumam Nawang Cende sambil memandang langit biru.
"Ya, kita seharusnya mandi di bumi untuk menahan energi negatif," timpal Nawang Rasati.
"Untuk pertama kalinya dalam tiga ribu terakhir malam satu suro tak lagi suci. Harus bagaimana kita sekarang? Kepergian bidadari cinta mengubah segalanya," ucap Nawang Kencana.
Nawang Shindang terduduk lemah di kursi putih di balkon indah itu. "Aku merasakan energiku melemah. Malam ini lebih gelap dari malam-malam yang pernah ada."
"Saudari-saudariku!" Nawang Asri yang baru datang memanggil mereka dengan serius. "Kita dipanggil oleh Kaisar Langit."
Berangkatlah keenam bidadari itu ke aula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...