16 | Pangeran yang Diremehkan

32 5 0
                                    

Duk! Kaisar Langit menghentakkan ujung tongkatnya ke lantai, tiga pasang sayapnya mengembang indah, membuat Nawang Cende yang bersimpuh di aula suci menunduk.

"Kau melanggar ketentuan langit dengan membantu manusia dalam perang. Melibatkan makhluk suci Barongan," suaranya menggelegar.

"Semar merestuiku, Yang Mulia," balas Cende lembut.

"Kita harus mengutamakan tugas suci kita, Putriku."

Cende berani menatap. "Jika aku tidak datang, Wulan mungkin sudah mati."

Pria berjenggot putih itu melangkah mendekat, turun dari undakan singgasananya. "Wulan bukan lagi bagian dari langit. Takdir punya jalannya sendiri, dan kita tak bisa menghalanginya."

Cende kembali menunduk. Tak mampu lagi untuk membantah. "Sukma raksasa Kala Rahu akan segera lahir, Jawa akan mengalami kegelapan sekali lagi. Kitalah satu-satunya cahaya bagi manusia. Dewa menugaskan kita untuk menjaga manusia. Perang besar akan terjadi. Kita harus bersiap."

Pria tua bersayap itu termenung sejenak. Berpikir. "Tak peduli seberapa keras aku mencoba menemukan ruang rahasia di mana kepala Kala Rahu di simpan, aku tak pernah menemukannya. Jika ia menitis kembali, manusia yang sanggup mengalahkannya adalah keturunan Bocah yang Lahir Saat Gerhana."

Cende kembali menatap ayahnya itu. "Sukma Kala Rahu menitis pada jabang bayi istri dari raja Niscala, keturunan Bocah yang Lahir Saat Gerhana."

"Klan Srisanjaya dan raksasa itu... Takdir mereka saling terikat."

***

"Di mana anakku?!"

Suara Radhityajaya menggelegar di aula tahta mengalahkan suara hujan di luar. Semua pejabat menunduk.

"Ini adalah rapat negara yang harusnya membahas keselamatan rakyat, tapi sekarang kita tak tahu putra mahkota di mana. Kalian gagal meredakan kekacauan di pendopo tempo hari gingga aku terpaksa mengirim Ratu pergi. Sekarang Pewaris negeri ini juga tak tahu di mana. Apa kerja kalian? Hah?!!" Ia tampak marah. Jemarinya meremas kuat pegangan singgasana emasnya. "Sekarang kemana dia terbang membawa kuda sembraninya?"

"Raden Pandya dan Nimas Anjani menungganginya menuju timur, Baginda," jawab Kebo Abang.

Radhityajaya melesahkan naps jengah. Dia khawatir dengan anaknya itu.

Lalu tiba-tiba datanglah seorang kasim membawa sepucuk lontar dan memberikannya pada sang Resi Agung.

"Baginda, Adipati Panjalu mengirim surat, katanya ia melihat kuda terbang melintasi wilayahnya dan menuju ke timur, ke Medang."

Mendadak jantungnya terasa amat sakit. Radhityajaya meremasnya kuat, ia hampir jatuh dari singgasananya. Kebo Abang buru-buru membantunya. Ia terus merintih.

"Panggil Tabib kerajaan!" seru Kebo Abang.

Semua orang menatap panik. Hanya satu yang menyunggingkan bibirnya, ia adalah Wirasa yang berdiri mengawasi di pojokan. Tangan kanannya mengelus-elus gagang belati berukir kepala macan di pinggangnya. Ini adalah kesempatan yang menguntungkan. Ratu pergi, Raja sakit, dan Putra Mahkota menuju ke daerah konflik. Dia harus segera merencanakan sesuatu.

Rapat pun dibubarkan dan Raja di antar ke kamarnya. Wirasa segera menuju ke Graha Ratu yang sekarang merupakan tempat tinggal putrinya, Citra.

Di luar hujan masih turun dengan deras. Semua aktivitas tersulitkan siang itu. Citra dengan gaun kerajaan tampak sangat cantik, hanya saja berutnya itu terus saja membuncit. Dia sudah seperti dalam separuh masa kehamilan. Para putri bangsawan yang tinggal di Keputren sering mengunjunginya dan berbagi gosip. Namun, karena hujan jadi kali ini ia hanya ditemani dayang-dayangnya.

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang