21 | Janji Jaka Tarub

14 3 0
                                    


Istana makin mencekam. Rencana pembunuhan sedang dijalankan. Perpustakaan itu sunyi memenjarakan Pandya yang sedang berusaha untuk keluar. Dia memanjat rak buku untuk memotong jeruji kayu yang menjadi sekat lubang ventilasi. Keris Mpu Gardajta yang ketajamannya tak tertandingi dengan mudah memotong kayu yang keras itu hingga ia bisa membuat celah untuk dirinya. Dia melongok keluar, lumayan tinggi juga, mungkin sekitar sepuluh meter. Segera ia meraih tirai, menariknya sesekali untuk mengecek kekuatannya, lalu menjatuhkannya. Dengan berani ia melalui lubang yang ia buat, bergelantungan di tirai itu.

Dia pernah terbang di antara awan-awan, ini sama sekali tak membuat nyalinya ciut. Namun, sayangnya kait gorden itu terlalu rapuh. Satu per satu mulai lepas. Bergegas Pandya berayun. Tepat sedetik sebelum kait terakhir lepas, ia melompat ke jendela di sampingnya. Gorden itu jatuh ke bawah.

Ia segera masuk ke jendela itu, lalu turun melalui tangga keluar bangunan. Di sana tak ada sama sekali yang berjaga. Aneh. Apalagi saat ia melihat beberapa prajurit memakai pakaian hitam berlarian membawa tombak dan pedang. Dengan diam-diam ia melalui halaman.

Di Graha Raja, Radhityajaya berdiri gelisah memandang langit kelam di luar jendelanya. Kemanakah sang rembulan? Harusnya malam ini purnama. Apakah ia bersembunyi karena kelahiran anaknya yang katanya membawa petaka? Ia terbatuk-batuk, makin gelisah. Apakah keputusannya ini benar?

Sungguh ia tak rela kehilangan anak lagi.

***

Di Kenta, tepat di gerbang keraton, Anjani dan Lingga tak diperbolehkan masuk oleh para penjaga.

"Aku adalah panglima Medang!" ucap Lingga mengancam.

"Maaf, Kisanak. Adipati melarang siapapun memasuki keraton malam ini. Kembalilah besok," ucap salah satu penjaga, yang berdasar pakaiannya adalah komandan.

Anjani akhirnya melangkah maju, ia membuka tudungnya, memperlihatkan rambut pendek dan wajah jelitanya. "Aku datang dari ibukota untuk menemui Raden Arya Wijaya," katanya tegas.

Sejenak komandan itu terdiam saat nama orang yang dirahasiakan itu disebut. "Siapapun tidak boleh masuk," pungkasnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lingga sambil memandang para prajurit yang berdiri di atas tembok.

"Tidak ada. Silakan pergi," balas komandan itu tegas.

Anjani melesahkan napas besar. Ia sudah pergi sejauh ini, tak akan dia biarkan seorang penjaga mencegahnya bertemu kekasihnya. Dia melangkah mantap. Tentu saja dengan cepat para pengawal menghadangnya dengan tombak, bahkan komandan itu langsung mengeluarkan pedangnya. Lingga juga siap siaga melindungi tuannya, dia juga mengeluarkan pedangnya.

"Kau menantangku?" gumam komandan itu geram. "Pergilah, kau wanita rendahan!" hardiknya sambil memandang rambut pendek Anjani.

Tentu saja dia kesal mendengar hinaan itu. Lingga hendak mengayunkan pedangnya, ia benar-benar memegang sumpah piningitnya. Namun, tiba-tiba Anjani mengangkat tangan menyuruhnya tetap diam. Gadis cantik itu mendekati si komandan. Pandangannya tajam menusuk.

"Jika aku bertemu Pangeran Arya Wijaya, akan kupastikan kau dihukum atas hinaan ini," ucapnya.

Dia lalu kembali menatap keraton cantik itu. Dia sudah ada di depan pintu, tinggal masuk saja, tapi ia harus berbalik. Dengan murung ia pun pergi dari sana. Lingga kembali menyarungkan pedangnya dan mengikuti gadis itu.

Anjani terus melangkah menjauhi gerbang dengan sedih. Bingung harus bagaimana sekarang. Tiba-tiba Lingga menarik tangannya, membawanya ke jalan di samping tembok keraton.

"Ikut aku, Nimas. Para penjaga di atas tembok tadi banyak yang menghadap ke laut, pasti sesuatu terjadi di pantai," cetusnya.

Mereka berdua dengan cepat menyusuri gang-gang, berbelok-belok melalui jalan tanah yang tak rata. Pohon-pohon kelapa berjejer rapi dalam kegelapan malam, apalagi terhalang oleh bayangan keraton tinggi di samping. Cahaya langit yang tak seberapa benar-benar menyusahkan. Hingga akhirnya angin pantai terasa, dan obor-obor terlihat bersama kerumunan orang yang tak seberapa. Mereka berhenti di balik pohon kelapa melihat ada prajurit menjaga pantai itu.

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang