11 | Pertempuran Satu Suro

24 4 2
                                    

Gedung berkubah itu ramai. Orang-orang memenuhi bangku beton bersusun melingkari panggung layar di mana dalang memperagakan wayang-wayangnya diiringi gamelan dan nyanyian sinden saat berganti segmen. Sebuah cerita tentang bagaimana dahsyatnya pertempuran Dewa-dewi dengan bangsa jin dan dedemit. Kisah itu sudah menjadi legenda klasik, orang-orang sudah menganggap cerita itu adalah karya dalang-dalang di tanah Jawa. Hanya beberapa orang di sana yang percaya dan satu orang yang mengalaminya. Siapa lagi kalau bukan Nawang Wulan. Sepanjang pertunjukan ia tertegun, memandang kalut, bahkan sempat menitikkan air mata saat para Dewa meninggalkan Tanah Jawa.

Pertunjukan itu berlangsung sangat lama bahkan lewat dari tengah malam. Semua orang bertepuk tangan saat sang dalang menutup ceritanya. Kini sang sinden mengambil alih panggung. Dia adalah Asih, wanita paruh baya yang memberi Wulan tiket. Dia tampak cantik dengan busananya.

"Hari ini aku bertemu dengan wanita cantik yang menyelamatkan anak-anak. Aku ingin mengundangnya ke panggung. Semoga dia berkenan membagikan suara indahnya untuk kita. Maukah kau, Nawang Wulan?" Dia menunjuk Wulan.

Sejenak Jaka terheran bagaimana mereka saling kenal. Dia berbisik, "pergilah."

Dengan malu-malu Wulan menuruni tribun dan naik ke panggung. Orang-orang berbisik-bisik memuja kecantikannya.

"Wah, dia sangat cantik."

"Apa dia bidadari? Kecantikannya sangat luar biasa."

"Pria yang membawa panah itu suaminya? Beruntung sekali dia."

Jaka tertawa kecil mendengarnya. Suami? Lucu sekali. Namun... ya, Wulan sangat cantik. Pandangannya terpaku pada gadis itu, kebaya merahnya sangat cocok di tubuh langsingnya, kebaya yang mereka beli di Jalada.

Dengan malu-malu Wulan ditinggal sendiri di tengah panggung, meski ia tak terlihat gugup saat semua orang tertuju padanya. Gamelan mulai berdenting.

"Tak lelo lelo lelo ledung
Cup, menenga aja pijer nangis
Anakku sing bagus rupane
Yen nangis ndak ilang baguse"

Dan Wulan mulai bernyanyi. Sebuah lagu yang sangat berkenang bagi Jaka Tarub. Terlepas dari semua orang yang terhipnotis dengan suara merdunya, Jaka memaknai lagu itu, bahkan setiap hal yang mereka lalui malam ini. Dia sungguh-sungguh terpana. Jantungnya kembali berdebar.

Dia sudah jatuh cinta padanya.

***

Di Kahyangan para bidadari berkumpul di Taman Widodari. Mereka semua lega karena kolam Tirta Sparsa telah menjadi bening kembali.

"Syukurlah, kolamnya menjadi bening kembali," gumam Nawang Asri.

"Aku merasakan hawa negatif yang menyelimuti tempat ini hilang," sahut Nawang Shindang yang sudah tak pucat lagi.

"Nawang Cende melakukan tugasnya dengan sangat baik. Namun, kenapa ia masih belum naik?" timpal Kencana.

"Pasti ada sesuatu yang harus ia lakukan," jawab Manik.

Rasati tiba-tiba tersentak. Selendang birunya seperti diterpa angin. "Dewa menyuruhku untuk menurunkan hujan," gumamnya.

"Sekarang?" Asri terheran. "Kalau begitu pergilah. Lakukan tugasmu."

Rasati mengangguk, kemudian ia pun pergi dari sana untuk membuat mendung.

"Lihat!" Kencana tiba-tiba berseru. "Kolamnya mulai mencerminkan kehidupan di bumi."

Semua orang melongok ke dalam kolam indah itu yang perlahan pantulan wajah mereka berganti kota Medang.

"Itu adalah saudari kita, Nawang Wulan, dan Jaka Tarub."

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang