Hari terus berganti. Bergulir dari waktu ke waktu. Panji telah menempati rumah barunya yang bersebelahan dengan kantor pengadilan di mana ia bekerja, yang juga tak jauh dari pendopo istana untuk rakyat yang sejak satu suro ramai. Rakyat tetap mendesak penggulingan ratu karena Bengawan Solo masih kunjung jernih. Para prajurit bahkan kewalahan untuk mengatasinya. Kasim-kasim yang mencatat ngajab mereka didesak.
Sementara di kantor pengadilan seorang nenek sedang disidang. Raut wajahnya sedih, bajunya compang-camping, tangannya terikat ke belakang. Dia dibiarkan bersimpuh di tanah bermandikan sinar matahari. Beberapa alat penyiksaan terpajang di halaman yang dikelilingi tembok tinggi itu. Algojo-algojo dengan seragam hitamnya berdiri tegak. Beberapa hakim duduk di teras, termasuk Panji. Seorang bangsawan berdiri di pinggir.
"Hakim Ketua, nenek ini telah terbukti mencuri beras di rumah tuan ini," seloroh seorang hakim yang duduk di paling ujung dengan nada malas sambil menunjuk bangsawan di sampingnya.
Hakim Ketua mengangguk mengerti. "Apa pembelaanmu, Bu Tua?" Nada bicaranya juga sama. Seolah buang-buang waktu saja mengadili wanita tua miskin ini.
Nenek itu menangis. "Saya mencuri karena cucu saya kelaparan. Mereka sudah tidak makan selama tiga hari."
"Jadi kau mengakuinya." Hakim Ketua mendesah malas. Lalu ia melemparkan papan kecil bergambar kepala rusa ke hadapan nenek itu, tanda dakwaan telah diputuskan. "Dengan ini kau dihukum penjara selama seratus hari."
Nenek itu langsung histeris. Dua algojo langsung menyeretnya. Si Bangsawan menatap puas.
"Hakim Ketua?" Panji terkejut dengan keputusan itu. Merasa sangat kasihan dengan si nenek.
"Kenapa, Panji? Apa keputusanku salah?"
"Ketua, nenek ini mencuri karena terpaksa. Bagaimana cucu-cucunya jika dia dipenjara selama itu?"
Semua hakim mendesah malas, menganggap Panji pembuat ulah.
"Hukum tetaplah hukum, Panji. Kita adalah tangan-tangan prabu yang menyelesaikan masalah kecil ini. Atas namanya kita tidak boleh melanggar peraturan yang beliau buat. Sepertinya kau harus belajar lagi. Aku heran siapa orang dalammu sampai kau sudah bisa duduk di kursi hakim yang biasa didapat bertahun-tahun oleh pengurus pengadilan," ucap Hakim Ketua meremehkan.
Panji terdiam. Dia memanglah masuk karena orang dalam, dan juga keputusan Hakim Ketua sudah sesuai dengan peraturan yang adil. "Tapi bagaimana dengan cucu-cucunya?"
"Apa kau masih tidak mengerti, Panji?" sentak salah satu hakim.
Dengan lemas Hakim Ketua melemparkan kembali papan kecilnya. "Cucu-cucunya akan diantar ke Gobrok Putro. Kau puas, Panji?"
Panji kembali terdiam, hanya bisa melihat nenek itu diseret menuju penjara yang ada di balik tembok pagar ke dua istana.
"Nenek itu akan mati bahkan sebelum seratus hari," celetuk hakim yang ada di sebelahnya yang juga tampak bosan.
"Itu yang terakhir, kan? Aku ingin makan cucur," seloroh Hakim ketua sambil bangkit dari kursinya, diikuti semua orang.
Panji geram, tapi dia tak bisa apa-apa lagi. Hukum tetaplah hukum, dan itu sudah seadil-adilnya. Namun, sepertinya semua hakim di sini sangat tidak berperi kemanusiaan. Dengan kesal dia berjalan masuk, berpisah dengan hakim-hakim lain yang ingin makan.
Dengan kesal ia menghempaskan bokong di kursi kerjanya. Orang-orang di ibukota ternyata sangat berbeda dengan Jalada. Kehidupan di sini jelas sangat keras. Bagai alam liar yang hukum rimba berlaku.
"Sepertinya kau sedang kesal, Anak Baru," Kasim Dwi tiba-tiba masuk.
Panji segera berdiri dan memberi hormat. "Apa yang Anda butuhkan, Kasim?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...