12 | Kekasih Baru

27 5 0
                                    


Hujan akhirnya reda. Jalanan ibu kota kembali diramaikan orang-orang. Gosip yang mengada-ada tentang Ratu menyebar menyebar begitu cepat. Hujan tak bisa menghapusnya. Mereka cemas tentang Bengawan Solo yang menjadi sumber kehidupan berubah hitam. Para Resi berkumpul di kuil-kuil, berdoa untuk satu suro dan agar sungai kembali jernih. Rakyat lebih memilih berbondong-bondong memasuki istana, berdemo di pendopo gerbang pertama. Mereka menuntut penggulingan Sumitra. Dia sudah cukup menyusahkan. Seolah kecemasan rakyat benar-benar terjadi. Mereka terus di sana hingga sore, tapi pihak istana tidak memberi klarifikasi apa pun pada mereka.

Di Graha Pewaris Pandya sedang termenung di kamarnya. Ia menatap kalut keris Mpu Gardajta yang telah dikembalikan padanya. Terbungkus dengan kain putih dan diikat dengan roncean melati tergeletak di atas meja. Menyalahkan diri sendiri atas peristiwa ini. Anda ia tak memaksa ibunya untuk ikut, pasti fitnah keji ini tidak akan terjadi. Dia marah pada rakyat yang terus berasumsi tanpa dasar yang jelas, namun bagaimanapun mereka adalah rakyatnya yang harus ia lindungi.

Ia mendongak menatap tanduk rusa sita yang terpajang. Para dayang pengasuhnya dulu sering bercerita tentang bagaimana Raja memburu rusa itu demi ibunya. Itu seperti sebuah kisah romantis yang pernah ada. Dia hanya ingin menjadi seperti ayahnya, seorang raja yang baik tapi tidak lemah.

Dia akhirnya membuka keris itu dan menyelipkan di pinggangnya, lalu keluar. Empat pengawal yang selalu di depan pintunya langsung mengikutinya. Dia terus berjalan melalui koridor-koridor mewah, menuruni tangga-tangga di mana dayang-dayang naik turun. Dia berhenti di pintu kamar Citra. Menyiapkan mantap sebelum ia membuka pintu itu.

"Raden..." Citra yang masih sangat lemah menegakkan punggungnya.

Pandya tak masuk lebih dalam, ia hanya berdiri di dekat pintu. Dia diam seribu bahasa membuat Citra tak tahu harus bagaimana.

"Maaf, Raden. Saya berhutang pada Anda, dan saya malah melakukan ini," gumamnya sambil mengelus perut.

"Ini salahku. Aku yang menyuruhmu tinggal di istana lebih lama lagi," ucap Pandya mengawang. "Dan sepertinya kau tidak akan pernah meninggalkan istana ini. Tetaplah di sini sampai ada perintah dari Prabu."

Kemudian ia berbalik pergi. Ia ingin marah, mengusir gadis itu keluar, tapi bagaimana bisa sekarang? Ia seharusnya tak membawanya masuk ke istana ini.

Setelah itu dia pergi menemui ibunya. Sebenarnya Pandya tak tega apalagi setelah kejadian semalam, namun Ratu berhak tahu bahwa suaminya telah menghamili gadis yang ia masukkan ke istana sendiri. Respon Sumitra hanya bisa terdiam, selain ia tak mau terlihat lemah di depan anaknya, ia juga sudah terbiasa patah hati. Bahkan dulu lebih dari ini.

***

Matahari akhirnya tenggelam, tapi pendopo masih saja ramai dengan orang-orang yang meminta pertanggung jawaban ratu hingga mereka dipaksa keluar karena gerbang utama istana akan segera ditutup.

Sementara itu Panji diam-diam keluar dari kediaman Semut Ireng. Dia dengan cepat menuju pelabuhan dan naik ke kapal berlambang kadal yang bersandar. Di sana sudah ada pengawal yang memarahinya waktu itu, dia tak banyak bicara dan langsung menyuruhnya ke ruangan yang ada di kapal itu.

Panji dengan gugup dan sedikit takut mendekat ke bangsawan bertangan besi yang duduk di balik meja dengan lampu minyak. Dialah Wirasa.

"Kau terlambat."

Panji menunduk rendah. "Maaf, Tuanku."

Wirasa tak banyak bicara lagi, ia langsung melemparkan terompet bentuk kepala naga itu ke atas meja. "Benar yang ini?"

Panji semringah. "Ya, Tuanku." Dia mengambilnya, memutar-mutarnya, memeriksa tak ada yang rusak. "Terima kasih. Terima kasih banyak."

Wirasa menyunggingkan sebelah bibirnya melihat Panji yang seperti anak kecil menemukan mainannya yang hilang. "Kau melupakan sesuatu?"

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang