Brak! Dug duk! Tiang! Suara berisik dari arena latihan. Para prajurit yang ada di sekitar sesekali melirik. Pandya menghancurkan boneka-boneka jerami hingga berceceran. Rahangnya mengeras, otot-otot tangannya menguat, amarah tersalurkan bersama stres yang menggelayut. Aroma dari bekas hujan tak mampu menenangkan gejolak itu. Malam yang dingin menjadi begitu panas baginya. "Hiak!" Pandya melakukan serangannya pada boneka terakhir dengan kedua pedangnya. Boneka itu terpenggal, termutilasi hingga jeraminya berceceran. Ia pun menjatuhkan pedangnya dan mengatur napasnya yang memburu.
"Ini, Raden." Tiba-tiba seseorang naik dan memberinya air.
Pandya menatap kalut. Ia langsung tahu bahwa pria dengan rahang tegas ini adalah pengawal Adipati Wirasa, pria bertangan satu itu tak banyak bawa pengawal. Pandya menghela napas besar dan berlalu mengabaikannya. Bahkan melihat pengawal dari ayahnya Citra saja ia tak senang.
Pengawal itu mengikuti. "Anda sangat hebat dalam berpedang. Hamba rasa semua Ksatria Piningit di Jawa tidak akan mampu melawan Anda jika berhadapan satu per satu."
Pandya tetap cuek, ia meminum air yang biasa memang disediakan untuknya.
"Seorang lelaki butuh lebih dari sekedar air putih untuk meringankan emosi," celetuk pengawal itu.
Pandya tak tahan lagi. Ia menaruh tekonya dan menatap tajam. "Apa maumu?"
Pengawal itu menunduk sopan. "Hamba adalah abdi Anda yang setia. Hamba hanya ingin membantu."
"Bagaimana?" tuntut Pandya.
Dia tersenyum penuh arti. Lalu ia mengeluarkan sebuah jubah yang seolah sudah dipersiapkan lama. "Anda ingin tahu?" ucapnya penuh tipu muslihat.
Pandya mengelap bibirnya yang basah. Ia memandang sekeliling, para prajurit sibuk dengan penjagaannya. Lama ia memandang jubah abu-abu lusuh itu hingga jiwa marah yang membuatnya memberontak membiarkannya menyambar jubah itu. Langsung ia kenakan lengkap dengan tudungnya.
"Mari, Raden," cetus pengawal itu penuh kemenangan. Mereka pun pergi melalui gerbang utama.
Tanpa mereka ketahui, di pojokan yang diterangi obor berdiri Wirasa. Ia juga tersenyum dengan kemenangan. Pandya telah menghampiri perangkap, jadi saatnya tangkap pangeran itu.
***
Aruna bersinar dengan lentera-lenteranya. Bangunan merah jambu itu lebih cantik di malam hari. Pandya tercengang di depan gerbang. Ia memajukan tudungnya.
"Beraninya kau membawaku ke tempat hina ini!" gerutunya.
Pengawal itu tersenyum masam. "Sebagian anak di Gobrok Putro terlahir di rumah ini. Para pejabat juga sering menghabiskan malamnya di sini. Para pedagang bahan pokok menjual barangnya ke sini. Para kupu-kupu malam berdandan cantik, membeli kain dan perhiasan. Di tempat hina ini uang berputar lebih besar dari yang Anda kira, begitu juga informasi."
Sejenak Pandya terdiam, pengawal ini ada benarnya.
Pria berahang tegas itu berbisik, "termasuk informasi tentang perhiasan Anda yang jatuh di dalam."
Pandya membelalak. "Aku tidak pernah memasuki rumah bordil ini. Itu jelas informasi yang salah."
"Kalau begitu mengapa tidak diluruskan saja, dan ambil perhiasan itu?"
Ia berpikir lama, namun akhirnya ia masuki juga tempat pelacur itu. Sang Pengawal tersenyum licik.
Gendang bermain asyik, musik yang lebih berani ketimbang gamelan istana yang lemah lembut, begitu juga para wanita penghibur yang sedang menari. Pandya masih tak melepaskan jubah tudungnya, duduk memperhatikan bersama pengawal itu di paviliun lantai dua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)
Historical FictionJaka Tarub alias Arya Wijaya yaitu pangeran yang terbuang, melakukan perjalanan ke timur demi menghimbun pasukan untuk merebut tahtanya kembali dari Pandya Wijaya, adik tirinya, dan membalaskan dendam ibunya. Dalam petualangannya ia dipertemukan kem...