3 | Nasihat Semar

40 8 1
                                    

Aula takhta hikmat cahaya matahari menembus jendela-jendela kaca patri besar di kanan dan kiri aula. Pilar-pilar besar berdiri tegak di antara orang-orang berpangkat. Radhityajaya duduk gagah di singgahsananya, dengan Pandya berdiri di sisi kanan dan Kebo Abang di kiri berdampingan dengan Resi Agung.

"Uhuk-uhuk..." Raja mulai terbatuk. Rapat kali ini berlangsung cukup lama.

"Baginda, pasar kita mulai stabil. Pangan rakyat juga mulai membaik. Kerja sama dengan Negeri Sunda berjalan lancar," ucap Tumenggung Lakeswara alias Semut Ireng.

Radhityajaya mengangguk puas. Lalu ia melihat Tumenggung Pembangunan yang baru saja dilantik. "Bagaimana dengan pembangunan kerusakan akibat Malam Serangan Makhluk Mistis?" tanyanya.

"Beberapa kota sudah selesai, Baginda. Hanya kota-kota yang mengalami kerusakan parah yang masih dalam perbaikan," jawabnya.

"Bagus. Lanjutkan kinerjamu."

"Sendika dawuh, Baginda."

"Baginda Prabu," kali ini yang bicara Resi Agung. "Bagaimana dengan masalah Ratu? Rakyat masih melakukan ngajab dan Ratu Sumitra tidak kian membaik."

Radhityajaya menghela napas besar. Frustrasi. "Para tabib hebat kerajaan sedang mengantri di kamarnya, Ratu akan membaik. Katakan pada rakyat, barang siapa yang membicarakan penggulingan Ratu akan dituduh melakukan konspirasi dan pengkhianatan."

"Sendika dawuh, Baginda!" semua orang berseru menerima tidah itu.

Pandya melirik kagum pada ayahnya. Inilah yang ia harapkan dari sang ayah.

"Uhuk! Uhuk!" Tiba-tiba Raja terbatuk lagi. Kali ini lebih kencang. Pandya melirik cemas. Ia ingin mendekat dan memastikan keadaan ayahnya, tapi sekarang adalah rapat negara, jika ia melakukannnya itu berarti menunjukkan kelemahan.

"Baginda, ijinkan hamba bicara," cetus Kebo Abang tiba-tiba.

Radhityajaya mengangguk mempersilakan. Kebo Abang lalu berpindah, menuruni undakan singgahsana dan berdiri menghadapnya.

"Baginda Prabu, hamba tahu ini diskusi ini akan sangat lancang, tapi hamba rasa ini akan menjadi solusi terbaik. Sakitnya Kanjeng Ayu Sumitra telah menjadi kecemasan pada rakyat. Rakyat butuh ditenangkan," ucapnya yang selalu tegas dalam bicara. Lalu ia melirik Semut Ireng.

Semut Ireng pun melangkah maju. "Baginda Prabu, kami sudah mendiskusikannya dengan Kanjeng Ayu Sumitra, untuk kestabilan dan ketenangan kerajaan kami sarankan agar Raden Pandya Wijaya melakukan pernikahan."

Pandya langsung membelalak. Tak menduga ide pembahasan ini sampai ke rapat negara. Dia mengambil satu langkah maju, agak panik.

"Aku masih perlu belajar banyak dalam ketatanegaraan, mengumpulkan pengalaman untuk memerintah negeri ini. Aku masih belum tahu bagaimana rakyatku sebenarnya, bahkan keluar istana saja masih bisa dihitung jari bagiku," timpalnya.

"Ini juga merupakan tugas penting seorang penerus takhta, Raden. Apalagi kerajaan sedang dilanda kecemasan. Ratu Sumitra sudah merestuimu untuk menikah," sahut Kebo Abang.

Pandya menoleh ke ayahnya, berharap membelanya. Tapi Radhityajaya hanya termenung, cukup lama.

"Uhuk. Uhuk." Sang Raja kembali terbatuk. "Sepertinya itu memang harus dilakukan."

"Ayahanda!" Pandya tercekat kaget.

"Menikah dan menghasilkan keturunan juga tugas negara. Keluarga kita sangat rentan. Kau adalah keturunan terakhir klan Srisanjaya yang memiliki darah paling murni. Kau harus memperkuat klaimmu dan menstabilkan kerajaan. Ingatlah pelajaran yang tadi kuberikan, ubahlah kelemahan menjadi kekuatan," ucap Radhityajaya pelan. Nada bicaranya terdengar lemah.

Jaka Tarub dan Legenda Gerhana (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang