Chapter 3

684 85 10
                                    

Besoknya, merupakan hari libur, sebab tidak masuk, karena tanggal di kalender berwarna merah. //apaan sih narasinya

Dari pagi (Name) cuma di rumah, diam, tak ada kesibukan setelah mengurus rumah, pokoknya gabut. Adiknya sudah hilang dari jam sembilan pagi, katanya pergi kerja kelompok.

Bukan hal yang mengagetkan lagi kalau rumah sepi sekali. Kedua orang tuanya tak tau rumah, taunya cuma rumah selingkuhan. Entahlah bagaimana kabarnya sekarang, (Name) rasa dirinya sudah miss communication dengan kedua orang tuanya.

Dulu, kalaupun beberapa hari hingga seminggu tak pulang, ayah atau ibunya--yang gabut--pasti sempat saja mengechatnya hanya untuk basa-basi. Sekarang, semenjak seminggu lalu sama sekali tidak ada pesan dari mereka.

Namun, ini (Name), merasa tak ada gunanya berkomunikasi dengan orang tuanya, yang seolah tak menganggap dirinya dan Nara ada. Cuma dibuat, disayang-sayang sebentar, lalu ditinggalkan karena tau (Name) sudah bisa mencari penghidupan. (Name) aih aih aja.

Kalau dihitung, sudah setahun lebih ini berjalan. Diawali dengan ayah atau ibunya yang pulang terlambat, ketahuan sayang-sayangan dengan orang lain perantara handphone, lalu bertengkar hebat, kemudian lari ke rumah selingkuhan masing-masing. Ketika masih awal-awal, mereka masih tau pulang, sudah bisa baikan juga tapi masih saling memelihara selingkuhan. Agak laen.

Lama-lama, mereka yang meski sudah berbaikan, jadi semakin sering main ke rumah selingkuhan, menginap, berujung jarang pulang, melupakan kedua anak yang membutuhkan figur orang tua. Kalau dihitung, dalam sebulan palingan sekali duakali mereka pulang hanya untuk melihat muka anak-anak mereka yang masih sama bentukannya.

Karena begitu terus, (Name) juga muak melihat muka orang tuanya. Ia pikir mereka akan cerai karena ketahuan masing-masing ada selingkuhan, tau-tau mereka tak peduli dengan apapun lagi, cuma mempedulikan hidup masing-masing.

Karena sudah begitu, (Name) juga tak peduli, ia cuma peduli dengan dirinya dan Nara.

(Name) pun menghela napas. "Gabut banget ... di rumah udah sendiri, keluar rumah males, juga gak tau mau kemana. Roll depan aja kali ya."

Tok tok tok

Bengong dikit, ada tamu. (Name) yang malas dengan yang namanya tamu, dengan ogah-ogahan menuju pintu. Ia tak ada mengundang siapapun malah ada yang datang. Giliran diundang atau pengen ada yang datang, malah tak ada yang datang.

Namun, siapa yang datang jam segini? Nara? Anak itu 'kan sedang kerja kelompok--atau mungkin ada yang ketinggalan di rumah dan sekarang mau diambil--tapi kalau ternyata yang datang sekarang orang iseng, lalu (Name) bukakan pintu, gimana?

Mungkin sampai pegal juga orang di luar itu mengetuk pintu, sebab (Name) tak kunjung membukakan karena sibuk overthinking dulu.

"Paket!"

'Owalah, kang paket. Gua 'kan ada CO sandal waktu ini.'

Tau itu bukan orang iseng melainkan kurir paket, (Name) langsung membuka pintu. Tampaklah seorang pria dengan pakaian yang tertutup menanti dengan paket di tangan. Pertanyaannya, kenapa kurir paket itu selalu cowok, dengan pakaiannya yang tertutup ngalah-ngalahin ukhti?

"Maaf ya, pak, tadi nyiapin diri dulu biar gak burik kalau difoto."

"Ya sudah, ini paketnya."

(Name) pun menerima paket itu, cuma menerimanya kemudian si kurir pergi, soalnya (Name) sudah mentransfer uang bayaran. Ia pun kembali masuk ke rumah.

"Sandal hiu gua datang juga, haha pap ke Nara dulu ah."

Fyi: pap = post a picture

(Name) pun segera membukanya dan terlihat lah dua pasang sandal hiu. Mau couple sama Nara, katanya.

Contract Marriage [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang