Kadang, rasanya mellow begitu ingat bahwa (Name) akan dipanggil "bunda", "ibuk", "jeng", oleh orang sekitarnya. Dulu saja biasanya dipanggil dengan nama atau "kak" ataupun "mbak". Secepat ini waktu berlalu. Rasanya pengen balik ke masa muda- tapi (Name) sendiri belum tua banget.
Umurnya belum sampai dua puluh lima, sudah akan mendengar panggilan bunda yang nyaring dari seorang anak kecil. Sejujurnya, ada rasa tak siap, tapi di sisi lain (Name) pun bisa ngerasa alay dan, "halah cuma berubah panggilan entar, apa anehnya". Memang benar-benar have two side.
Tentang anak, kandungan (Name) sudah berusia 18 minggu. Sudah cukup buncit. Mungkin jika ini diajak jalan-jalan, tak akan ada lagi yang berani menggoda (Name), juga yang pernah menggodanya pasti akan menghilang bagai dikubur tanah.
Untuk siang ini, (Name) cuma diam di rumah. Tak ada banyak kegiatan aktif untuk dirinya lakukan. Untung ada Nara yang ia ajak menganggur di rumah. Lebih tepatnya, dijadikan babu oleh (Name).
Sebab sedang membawa dua tubuh, Nara ngerti sebagian kurang bisa dilaksanakan, tapi ini semuanya banget disuruh oleh (Name). Ini sih sengaja mempermainkan Nara.
"Dikira aku apaan diginiin."
"Adik yang berbakti pada kakak, dong."
"Wujud baktinya, jadi babu, gitu?"
"Iya~"
Pengen ngajak ribut.
Dimasa belum menikah, masih cuma tinggal berdua di rumah, (Name) dan Nara tak berbeda dengan persaudaraan pada umumnya. Rajin berantem kecil-kecilan, walau kadang sampai kedengaran oleh tetangga.
"Duh, Nar, tiba-tiba pengen martabak." ujar (Name)
"Hmm? Apa harus aku masakin di tempat jualannya? Atau, aku harus peluk abang martabaknya selagi bikin pesanan?" sahut Nara dengan sarkas.
"Hehehe, enggak. Beli aja, yang biasa. Nih uangnya, kalau lebih ambil yaa." ucap (Name) sambil memberi uang.
Nara pun mau pergi ke luar, kebetulan juga baru pertama kalinya ia keluar rumah selama disuruh-suruh oleh (Name) hari ini, jadi ia tak keberatan.
Beberapa menit kemudian, gadis itu tiba di komplek perdagangan, agak jauh dengan rumahnya. Nara mulai mencari tempat belanjanya. Belum pun ketemu, ada yang mengatakan namanya.
"Eh, Bang Dico?"
Itulah Dico, langganan (Name) jaman kuliah, Nara juga kenal karena sempat berbelanja di tempat Dico yang di dekat kampus.
"Nyari apaan?"
"Martabak. Abang dah pindah tempat, nih? Kagak di dekat kampus lagi?"
"Udah gak laku di situ, ya udah deh pindah ke sini. Kebetulan kontraknya lebih murah. Mau nyari martabak, nih? Di sini juga ada."
"Wah, kebetulan banget. Baru tau abangnya jualan martabak."
"Baru juga mulai. Mau yang gimana?"
"Yang biasa, gpl dah."
"Siap."
Selagi menunggu, Nara mendudukkan dirinya di kursi kosong. Kembali basa-basi dengan penjualnya.
"Bisnis nasi gorengnya, gimana?"
"Gak gimana-gimana, masih jalan kok."
"Ohh, jadi jualnya dua."
"Haha, iya. Btw, kakaknya apa kabar?" tanya Dico, agak berbisik.
"Ya, baik. Masih napas orangnya. Akhir-akhir ini lagi demen ngebabuin aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Contract Marriage [✓]
Fanfiction୨⎯ BoBoiBoy Solar w/ Female!Readers ⎯୧ Dalam halu yang liar, orang-orang pasti membayangkan bagaimana dirinya bersanding dengan pria tampan. Mungkin itu pria biasa, atau yang punya kekuasaan besar seperti CEO dan Mafia. Ya, (Name) juga begitu, karen...