13

169 8 0
                                    

Luna berlari keluar dari rooftop, menuruni tangga dengan tergesa. Jantungnya masih berdegup kencang setelah berhasil melarikan diri dari kungkungan Beryl yang berusaha menciumnya.

Gila! Beryl benar-benar gila!

Luna tidak berhenti mengutuk Beryl didalam hati. Kadang Beryl memang terlihat menyeramkan tapi Luna tidak menyangka kalau Beryl berani melakukan semua itu. Inara, kasihan Inara. Jika tau kebenarannya seperti ini, Luna tidak akan membiarkan Beryl mengatakan yang sesungguhnya pada Inara.

Bagaimana keadaan Inara sekarang? Pasti dia sangat terpukul. Luna paham sekarang, kenapa Inara bisa menangis histeris.

Luna masuk kedalam toilet lalu menyandarkan tubuhnya di tembok.

"Gue nggak nyangka, ternyata Beryl nggak jauh beda sama Bokap gue." Luna terkekeh pilu dan tanpa dia sadari air matanya terjatuh.

"Bisa-bisanya gue dijodohin sama dia." Luna terisak kecil. Entah kenapa ada rasa kecewa saat mengetahui Inara benar-benar hamil. Apa karena itu anak Beryl?

"Gue nggak suka sama lo! Tapi kenapa hati gue sakit?" Luna terkekeh, memperhatikan dirinya di cermin kecil yang ada di dalam toilet. "Luna nggak pernah nangis. Terus kenapa lo nangis?" tanya Luna pada dirinya sendiri.

Luna mencuci wajahnya, memperhatikan wajahnya sebentar, menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan.

Saat Luna keluar dari toilet seseorang mendorongnya masuk kembali ke dalam bilik toilet.

"Lama banget di dalam? Ngapain aja?" Orang itu menyilangkan tangannya di dada dengan menghadap Luna yang terpojok di sudut toilet.

"Mau apa lo?!" Bukannya menjawab Luna malah balik bertanya.

Orang itu tersenyum tipis, memperhatikan Luna dari atas hingga kebawah. "Udah lama kita nggak ngobrol berdua. Kamu apa kabar?"

"Seperti yang lo lihat. Gue baik-baik aja."

Orang itu hanya menganggukkan kepalanya dua kali. "Aku punya informasi. Tapi nggak gratis."

"Gue nggak tertarik."

"Yakin? Ini tentang orang yang sudah menghancurkan keluarga kamu. Yakin nggak mau tau?"

Luna menaikan sebelah alisnya merasa tertarik dengan pembicaraan ini. "Berapa yang harus gue bayar?"

Orang itu terkekeh sembari menguraikan tangannya lalu meletakkannya di pundak Luna.

"Aku mau kamu mencelakai Inara. Buat dia putus dengan Beryl."

Luna tertawa sumbang lalu menurunkan tangan orang di hadapannya dari pundaknya.

"Zaskia, mereka udah putus."

Orang yang Luna panggil Zaskia itu terkejut. "Tau dari mana kamu?" tanyanya tak percaya.

"Kalo nggak percaya, tanya sendiri sama anaknya."

"Inara nggak berangkat. Beryl juga nggak ada di kelas."

Luna mengernyitkan dahinya, Inara tidak berangkat? Apa karena kejadian kemarin?

"Lo punya informasi apa buat gue?"

"Yang pertama, anak selingkuhan papa kamu sekolah di sini. Yang kedua, mama kamu, nanti malam dia mau jalan sama ayah aku. Kita harus gagalkan rencana mereka."

"Siapa nama anak itu?"

"Tidak ada yang gratis di dunia ini. Nanti aku kasih tau kalau aku sudah tau bayaran apa yang harus kamu beri." Zaskia keluar dari toilet.

Setelah kepergian Zaskia, Luna memukulkan tangannya di tembok untuk menyalurkan amarahnya. "Gila! Semua orang di dunia ini benar-benar gila!" teriak Luna sambil menghujamkan tinjuannya.

Saat Luna masih kecil dia sering melihat orang tuanya bertengkar, tidak jarang Papanya memukul Mamanya. Luna melihat sendiri saat mamanya minta ampun dan menangis kesakitan. Luna hanya diam saja memperhatikan mereka. Tidak ada rasa kasihan dalam diri Luna, yang ada hanya amarah. Kenapa dia dilahirkan dalam keluarga yang penuh kepalsuan. Saat pertengkaran orang tuanya berakhir, mereka akan bersikap biasa saja dihadapan Luna seolah tidak terjadi apapun dan hal itu membuat Luna sangat muak.

Saat Luna berusia dua belas tahun dia mengetahui bahwa Papanya selingkuh dan memiliki anak. Luna diam saja seolah tidak tahu.

Dua tahun kemudian Luna bertemu dengan Zaskia. Zaskia sangat membencinya tanpa tahu penyebabnya. Setelah beberapa bulan kemudian Zaskia menceritakan bahwa ayahnya dan mama Luna bermain api dan mulai saat itu mereka saling mengerti satu sama lain, walau mereka tidak sedekat itu.

Luna tidak pernah menangis ataupun sedih melihat keluarganya yang sangat berantakan dibalik topeng keharmonisan. Luna bersyukur karena memiliki orang tua Beryl yang sangat perhatian dengannya, Luna juga bersyukur memiliki Beryl sebagai objek pelampiasan amarahnya.

Saat Luna sedang marah Beryl selalu ada untuk mengganggunya, saat Luna sedang sedih Beryl selalu ada untuk menggodanya dan balasan Luna, bogeman mentah untuk Beryl. Caranya sama seperti apa yang dia pelajari dari papanya saat memukuli mamanya.

Setelah puas melampiaskan amarahnya, Luna keluar dari toilet menuju kelasnya. Bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu dan saat ini mata pelajaran bahasa Indonesia sedang berlangsung. Luna masuk ke dalam kelasnya tanpa mengetuk pintu ataupun mengucapkan salam dia langsung duduk di kursinya dan menghiraukan guru yang sedang mengajar.

"Luna, kamu dari mana saja? Kenapa baru masuk?" tanya Bu Sundari.

Luna menatap datar Bu Sundari tanpa berniat menjawab. Seisi kelas sedang memperhatikannya sekarang, Luna menghiraukan mereka dan memilih menelungkupkan wajahnya di meja.

Bu Sundari menghembuskan nafas lelah, tidak ingin memperpanjang masalah dia meneruskan pembelajaran. "Yasudah, kita lanjutkan lagi materi..."

Beryl memperhatikan Luna dari mejanya. Beryl melihat jari-jari Luna yang terlihat berdarah. Apa Luna habis berkelahi?

Yang Beryl tau, Luna akan dengan senang hati berkelahi saat sedang marah. Apa pernyataannya tadi membuat Luna marah? Tidak mungkin. Sudah jelas Luna tidak mencintainya jadi untuk apa marah.

Saat sedang memperhatikan Luna ponsel Beryl bergetar.

LunaKu❤️
Gue butuh bantuan lo.

Tumben sekali Luna mengirim pesan apalagi meminta bantuan.

Bantuan apa?

Jangan banyak bacot! Gue tunggu di rumah nanti jam lima harus tepat waktu.

Dih, dia yang minta bantuan dia yang ngatur-ngatur. Calon mantan kurang ajar, gerutu Beryl didalam hati.



Calon Mantan || LOGIC (versi lama)☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang