38

92 4 0
                                    

Dua hari berlalu sejak tangisan Luna malam itu, semua tampak baik-baik saja. Luna hanya merasa sedikit canggung. Beryl kembali seperti Beryl biasanya, otoriter, arogan dan menyebalkan, lalu akan menjadi siswa polos tanpa beban di sekolah.

Di sekolah, tidak ada satu orang pun yang membicarakan tentang skandal Beryl dengan Inara. Mereka berlaku seolah tidak terjadi apapun. 

Sikap tenang yang ditunjukkan Beryl membuat Luna curiga. Tidak mungkin semua orang melupakan skandal besar begitu saja.

Seperti sekarang, jam pelajaran telah berakhir. Luna berjalan tepat di belakang Beryl dan Ansel menuju parkiran, tidak ada satupun penghuni sekolah yang melirik Beryl ataupun sekedar berbisik menggunjing. 

"Untung lo pegang kuncinya, Bos." Ansel berkata dengan girang, sedangkan Beryl hanya menanggapi dengan tawa kecil seolah itu bukan apa-apa.

"Selama dia ada di tangan lo, psikopat gila itu nggak akan bisa nyentuh kita." Ansel tertawa lagi.

Di belakang mereka, Luna mengerutkan kening. Percakapan biasa antara Beryl dan Ansel terdengar seperti perbincangan antara dua kriminal.

"Dia nggak akan pergi ke mana pun," ucap Beryl terdengar samar karena pengucapannya tidak terlalu keras, namun masih bisa didengar oleh Luna.

Luna hanya diam menatap punggung lebar Beryl dari belakang. Dia tidak tahu arah percakapan dua orang di depannya.

"Iyalah… orang dia betah di rumah lo," kelakar Ansel diikuti anggukan dan tawa Beryl.

Kening Luna semakin mengerut. Katakanlah dia terlalu percaya diri karena merasa Ansel sedang membicarakannya. Siapa lagi orang asing yang tinggal di rumah Beryl selain dirinya. Bi Inah? Mana mungkin. 

"Dia udah cinta mati sama gue," ucap Beryl menepuk dadanya merasa bangga.

"Lo yang tergila-gila, dia mah asilinya ogah sama lo. Apalagi kalau dia tau lo itu gila! Beryl, si pimpinan pengedar na— awww… sakit." Beryl memkul lengan Ansel hingga membuat remaja blasteran itu terhuyung dan mengaduh kesakitan.

Luna tidak bisa mendengar ucapan Ansel dengan jelas karena gerakan spontan Beryl. Tapi sekarang dia sangat yakin kalau yang mereka bicarakan adalah dirinya.

"Mulut lo!" Beryl melihat sekelilingnya, takut ada yang mendengar. Dan saat dirinya menoleh ke belakang, yang pertama kali tertangkap matanya adalah wajah datar Luna.

Beryl cukup terkejut, tapi dia mencoba untuk biasa saja dengan terus berjalan tanpa menoleh ataupun menanggapi ocehan Ansel. Beryl yakin dirinya sudah bersikap biasa saja, tapi entah kenapa jantungnya berdetak seolah ingin meledak hingga membuat langkahnya canggung karena ingin memastikan ekspresi Luna sekali lagi.

Apakah Luna mendengarnya?

Bagaimana jika dia berpikir yang tidak-tidak?

Beryl tidak tahan untuk tidak menoleh. Dan saat dia menoleh sekilas Luna masih melihatnya dengan tatapan yang sama. Beryl menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum menoleh lagi lalu dengan canggung menunjuk arah halte yang tidak jauh dari sekolah, mengisyaratkan Luna agar menunggunya di sana.

Sialan!

Jarinya bergetar dan bibirnya terasa kaku untuk tersenyum.

Luna tidak memberi reaksi apapun, namun kakinya melangkah mengikuti arah yang Beryl tunjuk.

Sebelum mendekati jalan raya, Luna berbalik melihat gedung sekolah lalu menghembuskan napas berat. Luna tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Apakah laki-laki memang seperti itu? Menjadikan wanita sebagai bahan candaan  dan berbangga diri atas pencapaiannya. Jika bagi laki-laki itu hal biasa, maka akan terdengar berbeda di telinga seorang wanita. Harga dirinya seolah tidak ada.

Calon Mantan || LOGIC (versi lama)☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang