Beryl merebahkan kepalanya di meja dengan tangan kiri memainkan ponsel dan tangan kanannya dia letakan di bawah meja.Begitulah rutinitasnya selama seminggu ini di sekolah. Tidak ada kegiatan yang lebih menarik selain mengarahkan kamera ponselnya ke arah gadis pujaannya secara diam-diam.
Setelah kejadian malam itu, tepatnya satu minggu yang lalu, tidak ada yang memulai pembicaraan di antara mereka. Beryl maupun Luna sama-sama diam. Mungkin, bagi Luna sudah tidak ada yang perlu di bicarakan lagi. Tapi bagi Beryl, sebenarnya banyak yang ingin dia jelaskan. Namun kembali lagi, harga dirinya menentang untuk menjelaskan semuanya.
Bukannya menyerah, Beryl hanya ingin membuktikan dengan caranya sendiri, bukan dengan mengemis maaf, karena hanya akan melukai harga dirinya.
Perlu diingat, harga diri cowok itu dua tingkat lebih penting dari nyawanya sendiri. Mau mati dengan cara apapun, dia akan tersenyum bangga jika harga dirinya terjunjung tinggi.
Saat sedang asik merekam, seseorang berdiri di samping mejanya dan menghalangi objeknya.
Beryl mengangkat kepalanya. Keningnya mengerut setelah melihat siapa orang itu.
"Kak, aku pengen makan bakso," ucap gadis itu lirih, menyerupai bisikan.
Beryl memperhatikan sekelilingnya setelah itu dia kembali melihat Inara. "Ngapain ngomong sama gue? Kalo mau makan, ya, tinggal makan aja kalik!" sungutnya dengan suara rendah, takut didengar orang lain.
"Aku maunya makan sama Kak Beryl," cicit Inara.
Beryl berdecak lalu berdiri, membuat senyum gadis yang sedang ngidam ingin makan bakso itu mengembang.
"Gue mau nemenin bukan karena perduli. Gue cuma kasian, nggak lebih," ucap Beryl mengingatkan.
Inara mengangguk masih dengan senyumnya.
Kasihan adalah satu bentuk keperdulian, menurut Inara. Jadi, tidak masalah kalau Beryl hanya kasihan. Karena berarti, Beryl perduli padanya.
Inara menggandeng lengan Beryl lalu berjalan keluar dari kelas cowok itu. Namun sebelum benar-benar keluar, Inara menyempatkan diri untuk menoleh, melihat Luna yang kebetulan juga tengah melihatnya dengan tapan yang sulit diartikan. Inara memberikan senyum terbaiknya, tangannya yang bebas dengan sengaja mengusap kecil perutnya.
Sekali lagi, dia ingin menegaskan miliknya. Ayahnya dan Beryl adalah miliknya. Luna tidak berhak memiliki salah satunya apalagi keduanya.
°°°
"Mau pakai saos, boleh?" tanya Inara.
"Terserah."
"Enggak deng, mau pake sambel aja, boleh?"
"Yang mau makan elo, bukan gue. Mau pake saos, sambel, gula, garem, ya tinggal ambil aja. Ngapain nanya gue segala!" bentak Beryl, kesal. Inara salah besar jika berpikir Beryl akan melarangnya makan pedas, seperti apa yang dia lakukan dulu. Beryl tidak akan pernah melakukannya lagi.
Inara tersenyum kecut. Dia hanya ingin Beryl kembali seperti dulu. Baik, perhatian, romantis dan menghargai apapun yang dia lakukan dan dia berikan.
Tanpa sadar, Inara memasukan banyak sambal ke mangkok baksonya, membuat kuah yang tadinya berwarna bening keruh berubah menjadi merah.
Inara melihat mangkok baksonya disertai hembusan nafas pasrah.
Bakso dengan sambal melimpah tidak akan memberikan efek serius untuk dirinya. Tapi— mari kita lihat seberapa kasihannya Beryl pada Inara dan segumpal daging bernyawa di dalam perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Mantan || LOGIC (versi lama)☑️
Ficção AdolescenteJudul awalnya LOGIC (versi sudah dieditnya berjudul Calon Mantan, ada di lapak sebelah) "Makanya, kalau mau kencan sama selingkuhan jangan ngajak pacar." Luna meletakan segelas jus jeruk di hadapan Beryl. "Lagian, selingkuhan bego gitu dipelihara."...