16

175 5 0
                                    


"Lo gila?! Kalau mau mati nggak gini caranya!"

Beryl mengeratkan pelukannya karena Luna berontak.

"Om, Tante! Kok kalian malah diem aja sih. Bantuin kek!" sentak Beryl. Dia jadi kesal sendiri melihat Aryo dan Wedari hanya diam saja, tidak berani mendekati Luna.

"Lepas, Beryl! Ngapain lo disini?!" Luna berusaha melepaskan diri dari pelukan Beryl.

"Ya, nyelamatin elo lah! Gila aja, belum juga
nikah udah mau ditinggal mati duluan. Gue nggak mau jadi sad boy."

Beryl menarik Luna keluar dari kamar itu, membawanya menuruni tangga dan keluar dari rumah.

Beryl melepaskan Luna setelah samapi di halaman rumah. "Huhh ... Capek," ucapnya.

Luna meringis memegangi lengannya yang terasa nyeri karena Beryl menariknya terlalu kuat. "Mau lo apa sih?!" teriak Luna di hadapan Beryl.

"Mau gue?" ucap Beryl dengan satu alis terangkat. "Harusnya gue yang tanya gitu! Sebenarnya mau lo apa?"

"Lo nggak tau apa-apa, jangan ikut campur!" Luna mengalihkan pandangannya dengan nafas memburu.

"Denger!" Beryl memegang sebelah pundak Luna, tangan yang satunya menarik kepala Luna untuk menghadap-nya. "Gue emang nggak tau apa-apa karena lo nggak pernah cerita. Tapi, gue berusaha selalu ada buat lo. Seberapa keras penolakan lo, gue nggak pernah ninggalin elo. Lo tau sendiri."

"Lo sama aja seperti mereka. Lo nggak jauh beda sama bokap gue!"

"Luna," panggil Wedari lirih, membuat Luna dan Beryl menoleh. "Maafin mama," ucapnya.

"Mama tau, mama salah. Mama terlalu sibuk dan nggak perhatian lagi sama Luna. Mama lakuin semua ini demi kita. Mama harus tunjukkan sama papa kamu kalau mama mampu berjuang sendiri." Wedari berusaha memberi pengertian kepada Luna. Dia sudah berusaha dengan keras untuk membagi waktu dan perhatiannya kepada Luna, tapi sepertinya Luna tidak menyadari itu.

"Itu bukan demi Luna, Ma. Tapi, demi mama sendiri." Luna mendorong Beryl pelan lalu berjalan mendekati motor Beryl.

"Katanya lo selalu ada buat gue dan nggak akan ninggalin gue. Gue mau lihat buktinya!" teriak Luna pada Beryl.

Beryl yang paham maksud Luna pun menoleh pada Wedari lalu berkata, "Tan, biarin Luna tenang dulu ya. Dia kalau marah bisa ngebahayain orang lain. Kalau tante nyari, dia ada di rumah Beryl."

Wedari mengangguk lalu memeluk Beryl. "Jagain anak tante. Tante sayang banget sama dia," bisik Wedari.

Luna berdecak melihat interaksi Beryl dan Wedari lalu dengan sengaja menendang motor Beryl hingga roboh.

Mendengar suara yang ditimbulkan Luna, Beryl melepaskan pelukan Wedari lalu menoleh, mulutnya menganga lebar melihat motornya rebahan di tanah. "Apaan sih lo! Kalau cemburu bilang. Nanti gue peluk seharian kalo udah di rumah, biar puas!"

Luna hanya diam memandang Beryl dengan tatapan datar. Beryl berusaha menegakkan motor maticnya.

"Naik!" sentak Beryl. Luna naik ke motor tanpa sepatah katapun.

Lima menit membelah jalan, Luna merasakan perih di pergelangan dan telapak tangannya. Luka itu belum kering dan terasa perih terkena angin. Luna berinisiatif memasukan tangannya di saku bawah jaket yang di kenakan Beryl lalu menyandarkan kepalanya di punggung Beryl.

"Jangan kepedean. Tangan gue sakit!" teriak Luna karena merasakan tubuh Beryl yang menegang.

"Hilih, bilang aja mau modus!" Beryl tersenyum dibalik helmnya.

°°°

Sesampainya di rumah, Beryl langsung mengobati luka Luna dan mengganti perban yang kemarin.

"Lo kalo marah udah kayak psikopat kerasukan arwah gentayangan. Serem." Beryl bergidik ngeri sembari membalutkan perban di pergelangan tangan Luna.

Luna hanya diam dengan mata terpejam, menyandarkan kepalanya di sofa ruang tamu.

"Kasian tau tangan lo. Kemarin masih mulus, sekarang jadi burik gini. Tapi tenang aja, kecantikan lo nggak berkurang sedikitpun." Beryl tersenyum melihat perban yang membalut luka di tangan Luna.

Luna membuka matanya, melihat Beryl yang sedari tadi ngomel tidak jelas. "Gue udah cantik dari lahir, mau luka kek gimanapun juga, kecantikan gue nggak bakal berkurang," ucapnya penuh percaya diri.

"Tau, tau. Gue tadi juga bilang gitu," decak Beryl.

"Lagian lo ngapain, sih? Pake sayat-sayat tangan segala, untung nggak mati!"

"Lo nggak tau apa-apa," decak Luna.

Beryl berdecak lalu memeluk Luna dari samping dan meletakkan kepalanya di pundak Luna.

"Yang buat lo sakit itu mereka, kenapa jadinya lo yang mau mati sih?! Harusnya lo bunuh mereka biar mereka nggak nyakitin lo lagi!"

Luna menggeleng tak percaya dengan apa yang Beryl ucapkan. Cara berpikir orang gila dan orang waras memang berbeda.

"Stress!"

"Lo mau, gue bantu buat ngilangin rasa sakit yang lo derita?" tanya Beryl.

"Gimana caranya?"

"Caranya cuma satu, gampang banget."

Luna mengernyitkan dahinya. "Bunuh mereka, gitu?"

Beryl menggeleng lalu membisikan sesuatu kepada Luna. "Cukup nikah sama gue, nanti gue kasih cinta dan kasih sayang gue juga orang tua gue. Gue kasih yang banyak, biar lo bahagia dan nggak sakit lagi," bisiknya.

"Lo ngajak gue nikah?" tanya Luna.

Beryl mengangguk antusias. "Lo mau?"

"Harusnya lo bilang gitu ke Inara. Anak yang ada di kandungannya butuh status yang jelas," jawab Luna datar.

"Kenapa jadi ngomongin dia sih! Gue cuma serius sama elo."

"Bukannya lo sendiri yang ngomong kalau mau buang gue, kalau lo udah bosen. Sekarang lo bilang serius, tapi besok, bisa aja udah bosen. Daripada bosen duluan mending buang gue sekarang."

Beryl menegakkan tubuhnya, memandang Luna yang juga tengah memandangnya.

"Kan gue bilang kalo udah bosen!"

"Iya gue tau!" Luna menegakan tubuhnya, memperbaiki posisi duduk menghadap Beryl. "Sekarang gue yang bosen sama lo. Gue juga berhak buang lo!"

Rahang Beryl mengeras, menatap Luna dengan tatapan tajam dan nafas memburu. Beryl mengusap pelan rambut Luna lalu menariknya dengan kencang.

"Lo kira, lo siapa? Berani-beraninya buang gue!"

Calon Mantan || LOGIC (versi lama)☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang