Bab 1 :: A Day in Hilmi's Life

207 13 2
                                    

Sepi. Ketika Hilmi membuka mata, yang ia dengar hanya suara napasnya sendiri. Sembari mengumpulkan nyawa, Hilmi menggaruk kepalanya. Jam sudah menunjukkan pukul lima, masih banyak waktu yang tersisa sebelum Hilmi berangkat sekolah. Sepinya rumah itu, dikarenakan Ibunya yang pergi dinas ke luar kota selama seminggu. Abangnya sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi luar kota. Bisa dibilang abangnya itu sangat jarang pulang, mungkin setengah semester sekali baru pulang.

Setelah cukup mengumpulkan nyawa, sambil menguap Hilmi beranjak ke kamar mandi. Dalam pikirannya, ia akan memasak apa untuk sarapan pagi ini. Terbiasa hidup sendiri semenjak kakaknya pergi kuliah dua tahun yang lalu, sedikit demi sedikit Hilmi belajar memasak. Tidak mungkin ia selalu mengandalkan makanan luar yang ada ibunya akan selalu mengomel karena uang sakunya yang cepat habis.

Tepat setelah Hilmi selesai mandi, ia melihat ponselnya di atas nakas berbunyi. Pelakunya pasti antara 3 orang, kalau nggak ibunya, pasti abangnya dan kalau bukan dua orang itu siapa lagi kalau bukan omnya yang nggak bisa diem itu. Tenang saja, nanti akan Hilmi perkenalkan satu per satu orang-orang itu.

"Ngape?" Kata pertama yang Hilmi katakan begitu mengangkat telepon.

"Dah bangun lu?" Suara kakaknya serak, itu pasti dia juga baru bangun.

"Hm. Pasti disuruh si Ibu."

"Iya, takut lo nggak bangun katanya."

"Udah bangun, udah mandi juga." Hilmi menyimpan ponselnya di atas nakas, sebelumnya ia menyalakan loadspeaker.

"Tumben rajin bener."

"Lo nggak tahu hari ini hari Senin, hah? Hari Senin tuh upacara, kalau nggak bangun pagi gue pasti telat. Kalau telat pasti dihukum, maleslah pagi-pagi udah dijemur."

Suara tawa terdengar di seberang sana. Hilmi merenggut, kakaknya itu memang suka sekali menggoda Hilmi.

"Iye dah iye, si paling rajin. Oh, iya. Kata Ibu mending pulangnya lo ke rumah Om Joan aja daripada sendirian di rumah."

"Iye. Dah, gue mau makan."

Hilmi mematikan telepon terlebih dahulu. Niatnya memang pulang sekolah nanti mampir ke rumah Omnya, atau mungkin sekalian menginap di sana. Selain karena supaya ia tidak sendiri, di rumah Omnya itu banyak sekali makanan ringan. Dasar Hilmi yang memang suka jajan saja makanya ia betah berada di sana.

Selesai bersiap-siap, saatnya sarapan. Tidak banyak yang bisa Hilmi makan, berhubung lauk yang Ibu masak kemarin sebelum berangkat ternyata masih ada, Hilmi jadi makan itu saja.

🌌🌌🌌

Berangkat sekolah saat hari Senin adalah hal yang paling membuat Hilmi malas. Selain karena di jalanan ia pasti kena macet, entah mengapa hari Senin mata pelajarannya juga sangat memusingkan. Bagaimana bisa matematika, ekonomi dan juga fisika digabung menjadi satu di hari yang sama? Kalau boleh Hilmi akan protes ke Waka Kurikulum saat ini juga.

Tentu saja itu hanya omong kosong, pasalnya Hilmi juga tidak berani ngomong dan hanya berani protes di belakang. Tipikal murid zaman sekarang.

Saat memasuki gerbang, motor maticnya tiba-tiba diberhentikan. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Pak Heru alias guru olahraga yang merangkap sebagai Waka kesiswaan sekolahnya ini. Ah, satu lagi guru olahraga yang terkenal tidak segan-segan menggunakan kekerasan bagi siapa saja yang melanggar aturannya juga guru yang menganut ungkapan guru selalu benar dan murid pasti salah. Itu yang pernah Hilmi dengar dari teman-teman sekelasnya.

Tiba-tiba diberhentikan seperti ini jelas membuat Hilmi bingung. Apa yang salah? Ia telah mengenakan helm dengan benar, Hilmi juga sudah cukup umur dan telah memiliki sim sejak tiga bulan yang lalu.

"Kenapa ya, Pak?" Hilmi yang diberhentikan tanpa alasan tentu bingung menghadapi sikap gurunya yang suka seenaknya ini.

"Ah, nggak papa. Kamu jalan lagi aja, saya kira bukan kamu."

Aneh. Namun Hilmi memutuskan untuk tidak menghiraukannya lalu pergi dari hadapan Pak Heru. Memang sikap guru-guru sepertinya tidak bisa ditebak. Ada saja hal-hal yang membuat hari Senin ini selalu buruk di mata Hilmi.

Ada banyak hal yang terjadi di hari Senin, yang akhirnya membuat Hilmi merasa kalau hari Senin memang bukan hari keberuntungannya. Itulah kenapa Hilmi sering kali merasa sensitif saat hari ini. Ada saja hal-hal aneh yang membuat suasana hatinya memburuk, seperti pagi ini.

Sungguh awal yang buruk sepagi ini.

🌌🌌🌌

Tidak banyak yang Hilmi lakukan selama di sekolah. Ia mengikuti pembelajaran dengan baik meskipun banyak mengantuk dan tidak fokus. Suasana hatinya juga perlahan membaik berkat teman-temannya yang selalu membuat Hilmi merasa lebih baik. Saat istirahat makan siang juga Hilmi makan dengan baik.

Sepertinya tidak ada hal yang bisa Hilmi lakukan selain melakukannya dengan baik. Hilmi tidak sepintar kakaknya yang penuh prestasi, meskipun begitu Hilmi juga tidak ingin membuat ibunya merasa telah gagal mendidik anak bungsunya. Makanya Hilmi berusaha sebisa mungkin melakukan semuanya dengan baik. Sebagai balasan untuk ibunya yang tidak pernah menuntut apa-apa dari Hilmi. Asal Hilmi nyaman, Ibunya tidak masalah.

Omong-omong tentang ibunya, Hilmi jadi teringat tingkah aneh ibunya belakangan ini. Saat bersama dengan Hilmi, ibunya sering tiba-tiba tersenyum. Kadang melihat ponselnya juga sambil tersenyum. Suatu hari juga Hilmi pernah memergoki ibunya menelfon seseorang sambil tertawa kecil hampir tengah malam. Sependek pengetahuan Hilmi tentang ibunya yang telah menjanda selama 10 tahun belakangan, baru dua kali Hilmi melihat tingkah ibunya yang seperti ini.

Ah, iya. Hilmi mungkin belum cerita. Ayah kandungnya meninggal 10 tahun yang lalu, tepat Hilmi berusia 7 tahun dan kakaknya 10 tahun. Setelahnya, ibunya tidak menikah lagi sampai sekarang. Ibunya sempat berpacaran dengan teman sekantornya beberapa tahun lalu, namun hubungan mereka telah kandas. Saat melihat tingkah aneh ibunya belakangan ini, Hilmi tebak ibunya pasti punya pacar lagi.

Hilmi sih tidak masalah, yang penting pasangan ibunya tidak suka main tangan dan egois, Hilmi memperbolehkan hubungan mereka. Asalkan ibunya bahagia dan tidak merasa sendirian lagi, Hilmi tidak masalah.

Hilmi jadi ingat, hari ini ia belum menelfon ibunya sama sekali. Biasanya ibunya sering menelfonnya ketika dinas ke luar kota seperti ini. Namun sampai Hilmi tiba di rumah omnya pun Hilmi belum mendapatkan pesan apa-apa dari ibunya. Malah sang kakak yang sejak tadi cerewet bertanya ini itu dalam pesan pribadi.

"Lama banget pulangnya, padahal Om niatnya mau ngajak jalan." Hilmi baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi rumah omnya, laki-laki itu sudah berada di depan pintu rumah, menunggu kedatangan Hilmi.

"Ngerjain tugas dulu di sekolah, biar malem ini bisa main."

"Emang Om ijinin main?" Hilmi berdecak. Tidak kakaknya, tidak omnya, mereka berdua suka sekali menggoda Hilmi.

"Nggak peduli."

Suara tawa terdengar sesaat setelah Hilmi mengucapkannya. Om Joan memang suka menggoda seperti itu, lalu akan puas ketika Hilmi sudah menjawabnya dengan ketus.

Memang dasar om-om bujangan lapuk.

Memang dasar om-om bujangan lapuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


10/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang