Bab 15 :: Memendamnya

56 7 0
                                    

Pukulan keras yang mendarat ke pipinya membuat Hilmi tersungkur, sampai punggungnya menabrak ujung meja. Bibirnya robek, Hilmi bisa merasakan ada rasa anyir yang masih ke mulutnya, pasti ujung bibirnya berdarah. Rasanya semua badan Hilmi sakit, namun emosi menguasai dirinya. Hilmi bangkit dari duduk, ia mengerti jelas tidak bisa melawan Pak Heru, jika dilawan laki-laki itu akan semakin menjadi-jadi. Kilatan emosi pun saat ini masih menguasai dirinya. Jadi Hilmi memutuskan untuk mengalah, daripada semuanya semakin runyam, bentar lagi ibunya pulang, dan akan sangat buruk jika wanita itu melihat keadaan mereka yang seperti ini.

Hilmi menghela napas panjang, ia mengurungkan niat menghajar laki-laki di depannya sampai habis. Hilmi juga berusaha keras mengalah dan menahan emosinya.

"Harusnya Bapak paham dari awal, menikahi Ibu saya juga berarti menerima semua baik-buruk anaknya. Saya bukan anak Bapak, jadi nggak ada keharusan bagi saya mengikuti semua kemauan Bapak." Hilmi berlalu dari hadapan laki-laki itu.

Ia masuk kamar, melihat bagaimana kondisi tubuhnya, yang paling terlihat saat ini sudut bibirnya robek dan berdarah, lebam juga sudah mulai terlihat di pipi kirinya. Sedangkan pipi kanan Hilmi memerah. Ia tidak bisa memeriksa punggungnya yang tadi sempat terbentuk ujung meja kayu di ruang tamu. Kalau begini ceritanya, Hilmi memutuskan untuk tidak pulang saja dan menunggu ibunya kembali.

Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara mobil Pak Heru yang berlalu, sepertinya laki-laki itu memutuskan mencari udara segar setelah menghantamnya dengan keras. Hilmi sih tidak peduli, kalau bisa malam ini laki-laki itu tidak usah pulang sekalian. Hilmi muak melihat wajahnya berada di rumah ini. Pada Iyan saja sikapnya sebaik malaikat, pada Hilmi berubah menjadi iblis mengerikan.

Dan yang perlu Hilmi lakukan sekarang adalah menyembunyikan kondisinya dari sang ibu. Jangan sampai ibunya tahu mukanya lebam-lebam dan luka seperti ini, apalagi jika sampai ibu tahu pelakunya adalah laki-laki yang sebulan lalu ia nikahi. Hilmi tidak ingin menjadi penyebab mereka bertengkar. Maka dari itu ia masih memilih untuk bungkam. Semua hal yang sudah terjadi, masih sanggup Hilmi pendam. Seperti katanya waktu itu, Hilmi tidak ingin suasana rumah menjadi semakin runyam dan ia semakin tidak betah berada di rumahnya sendiri.

Saat ini Hilmi tengah membaluri wajahnya dengan minyak tawon, minyak yang biasa keluarganya gunakan ketika terluka. Semoga saja nyeri dan lebamnya membaik. Ia tidak mungkin menghadap ibunya dengan wajah sekacau ini. Lalu setelahnya Hilmi berniat untuk tidur dan memakai masker saat berangkat sekolah besok. Persetan dengan makan malam, sejak tiba di rumah Hilmi sudah tidak lagi berselera makan.

Namun ternyata masalah muncul. Sang abang, Iyan, tiba-tiba menelpon. Awalnya Hilmi tidak tertarik untuk mengangkatnya, tapi Iyan malah menelpon Hilmi sampai tiga kali. Mau tak mau Hilmi mengangkatnya. Hilmi ingin jujur, sejak abangnya pulang seminggu kemarin dan berujung ia diremehkan, Hilmi jadi malas berhubungan dengan abangnya. Ia masih sakit hati dengan perkataannya waktu itu.

Dengan malas Hilmi mengangkat telepon, sebelumnya ia sudah mematikan lampu kamar dan beringsut masuk ke dalam selimut. Kalau gelap begini abangnya tidak akan tahu apa yang telah terjadi di rumah.

"Lo ke mana aja, sih? Gue telepon tiga kali nggak diangkat-angkat." Hilmi bisa melihat cowok itu sedang bersantai di kamar kosnya.

"Lagi mandi tadi." Hilmi menjawab singkat. Setelah seminggu, cowok itu baru kali ini menghubunginya.

"Tumben lo mandi jam segini? Baru pulang kerkom lagi? Tumben juga kamar lo udah gelap jam segini?"

"Iya, tadi kerkom, baru pulang. Gue ngantuk, mau tidur. Tapi lo nelfon, nggak jadi tidur gue." Hilmi sedikit menggerutu. Padahal sebenarnya untuk berbicara panjang saja bibirnya terasa perih.

"Ibu belum pulang?"

"Belum."

Hening, setelahnya baik Iyan maupun Hilmi tidak lagi berbicara. Di seberang sana, Iyan seperti menyadari ada yang aneh dari Hilmi. Sejak ibunya menikah lagi, Iyan merasa Hilmi lebih menjaga jarak. Biasanya jika berjauhan seperti ini, Hilmi yang sering lebih dulu menghubunginya. Namun setelahnya, Hilmi belum pernah lagi menghubungi Iyan, makanya malam ini Iyan menelfon Hilmi. Sejujurnya, ia rindu suara ribut Hilmi. Hilmi sekarang jadi lebih pendiam.

"Lo nggak papa kan? Di rumah nggak ada apa-apa, kan?" Akhirnya Iyan kembali bersuara. Ia takut Hilmi menyembunyikan sesuatu yang tidak ia tahu, selain Hilmi berubah menjadi lebih pendiam, Iyan khawatir ada sesuatu terjadi yang membuat Hilmi menjadi seperti itu.

"Nggak papa. Aman, rumah juga aman."

"Serius?"

"Iya. Tanya Ibu kalau nggak percaya."

"Ya udah, selamat istirahat. Gue cuma mau tau kabar lo aja. Kalau lagi ada masalah, lo harus cerita gue nggak mau tau pokoknya."

"Iyaa." Hilmi tidak menunggu jawaban Iyan, ia langsung mematikan teleponnya.

Sebenarnya Hilmi merasa bersalah sudah bersikap sedingin itu pada Iyan, tapi jujur Hilmi masih kesal dan kondisinya sedang tidak bagus hari ini. Jadi ia juga tidak mood berbicara panjang lebar pada Iyan. Biarlah suatu hari nanti Iyan tahu sendiri apa yang telah terjadi di rumah ini.

🌌🌌🌌

Keesokan harinya, Hilmi berangkat sekolah tanpa sarapan. Hilmi juga menggunakan masker karena ternyata lebam dan luka di sudut bibirnya belum juga sembuh. Daripada membuat keributan, lebih baik Hilmi menghindar. Masa bodoh jika ibunya merasa curiga atau bagaimana. Hilmi hanya perlu menghindari dua orang itu. Untungnya Ibu percaya dengan alasan yang ia beri, bahwa Hilmi harus berangkat lebih pagi karena ada ujian remidi fisika sebelum jam pelajaran. Dan juga alasan Hilmi menggunakan masker karena flu.

Sampai di sekolah pun Hilmi tidak membuka maskernya. Untung saja memang kondisi badannya sedang tidak fit, sejak dua hari yang lalu Hilmi memang flu. Jadi ia tidak sepenuhnya berbohong. Dan semua rencananya berjalan dengan lancar, tidak ada yang curiga kalau Hilmi menggunakan masker karena wajahnya kacau, bahkan kedua teman dekatnya juga tidak curiga.

Tapi Hilmi tidak bisa apa-apa ketika ia memutuskan pulang ke rumah omnya sembari menunggu sang ibu sampai di rumah. Sudah lama Hilmi tidak datang ke sini, terakhir saat malam pertama pernikahan kedua ibunya, setelahnya Hilmi menghindari Om Joan. Hilmi tidak marah pada Om Joan, ia hanya menghargai keberadaan Pak Heru di rumah makanya selalu berusaha berada di rumah saat awal-awal pernikahan mereka.

"Tumben pake masker, sakit?" Om Joan bertanya tepat ketika ia melihat wajah Hilmi saat membuka pintu.

"Pilek aja, sih."

"Lah iya, tumbenan pake masker. Biasanya kalau flu kamu tetap nggak pake apa-apa. Jangankan masker, kalau lagi flu es aja kamu trabas."

Kan, Hilmi sudah bilang tidak ada yang bisa disembunyikan dari Joan. Kecuali satu, tentang perlakuan dari Pak Heru selama ini Hilmi pasti tidak akan memberitahunya. Untuk biasaan kecil Hilmi, Joan jelas tidak bisa dibohongi.

Hilmi masuk ke kamar yang biasa ia gunakan untuk tidur. Hilmi sadar ia juga jadi lebih pendiam pada Om Joan. Sejujurnya, Hilmi tidak tahu harus apa saat ini. Cuma rumah inilah tujuan Hilmi saat ini. Makanya ia datang ke sini meski dengan resiko besar rahasianya terungkap.

Dan benar, ketika Joan membuka pintu kamar, Hilmi sedang tidak memakai maskernya. Seketika laki-laki usia pertengahan 30an itu terkejut melihat wajah Hilmi seperti itu.

"Muka kamu kenapa?"

"Muka kamu kenapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


29/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang