Bab 16 :: Kehilangan Tempat Ternyaman

62 6 0
                                    

"Muka kamu kenapa?"

Joan yang terkejut melihat wajah lebam Hilmi segera mendekat. Ia meraih wajah Hilmi lalu mendongakkannya ke atas. Tinggi mereka yang terpaut cukup jauh membuat Joan sedikit kesusahan melihat detail wajah keponakannya itu. Lebam terlihat jelas di pipi kanannya, tidak begitu bengkak, lebamnya juga sudah sedikit memudar.

Hilmi meringis, Joan menyentuh tepat di tempat ia kena bogeman semalam. Rasanya ternyata cukup sakit, padahal Hilmi sudah rajin mengoleskan minyak tawon sampai ia beli sendiri tadi di apotek sebelum datang ke sini.

"Kenapa ini?" Joan belum mendapatkan jawaban dari Hilmi. Yang dipikirannya hanya satu, mungkin Hilmi terlibat dengan anak-anak nakal di sekolahnya dan menyembunyikannya dari orang-orang.

Karena kalau Hilmi bermasalah di sekolah, kakaknya itu pasti tahu dan menceritakan ini juga pada Joan. Hampir semua permasalahan keponakannya, ia yang mengurus. Sudah Joan katakan dari awal, dirinya di sini sangat berperan dalam tumbuh kembang Hilmi dan Iyan. Semenjak kematian kakak iparnya, Joan sudah seperti ayah bagi mereka. Meski sekarang posisi itu sudah berganti pada Pak Heru, mereka tetap bagian dari tanggungjawabnya.

"Kenapa? Nggak papa bilang aja, Om nggak akan kasih tahu Ibu kamu. Janji!"

Joan tahu Hilmi mungkin tidak ingin mengatakannya karena takut ketahuan ibunya apalagi ayah tirinya juga guru di sekolah Hilmi, pasti kejadian ini sangat berat bagi Hilmi untuk bercerita.

"Nggak papa, ini cuma salah paham aja, kok. Sekarang udah selesai kok masalahnya." Hilmi berbohong, jelas tidak mungkin ia mengatakan hal yang sebenarnya pada Joan.

Hilmi bisa saja sih mengatakannya dan bilang kalau ayah tirinya itu tidak sebaik yang mereka kira. Tapi Hilmi tidak mau membuat ibu dan omnya bertengkar karena hal ini. Hilmi bahkan sudah mengira apa yang akan terjadi kalau ia membocorkan semua hal yang ia dapat dari perlakuan laki-laki ringan tangan itu pada Omnya.

"Beneran udah selesai? Om nggak mau tahu ya, kalau tiba-tiba ada masalah lain." Hilmi mengangguk saja, memang benar tidak akan ada masalah lagi ke depannya. Kecuali sang ayah tiri kembali berulah, Hilmi tidak bisa memprediksikan itu.

Setelahnya Joan keluar dan kembali ke kamar membawa alat kompres lengkap dengan salep luka. Katanya, tidak cukup mengobati luka lebam hanya dengan obat yang Hilmi bawa. Joan dengan telaten mengoleskan lebam Hilmi. Setelahnya, ia menyuruh Hilmi menginap di sini saja dan beristirahat, siapa tahu besok lebamnya hilang dan Hilmi bisa pulang ke rumah dengan selamat.

Hilmi sih senang saja disuruh menginap di sini. Itu tandanya malam ini Hilmi selamat dari amukan Pak Heru di rumah. Setidaknya meski sehari, Hilmi sudah merasa sangat bersyukur badannya dan mentalnya aman. Namun sebenarnya yang Hilmi lakukan sekarang hanyalah bersembunyi, ia mulai merasa takut dan tidak nyaman berada di rumah hanya berdua dengan Pak Heru. Kelakuan laki-laki itu yang kerap mengasarinya atau melontarkan kata-kata tidak pantas membuat Hilmi muak lama-lama berada di rumah.

Rumahnya seperti bukan lagi rumah yang nyaman seperti dulu. Entah apa salahnya, Hilmi hanya merasa Pak Heru memiliki dendam pribadi padanya. Padahal saat Iyan sang abang berada di rumah, walaupun bertiga dengan dirinya, tidak ada kejadian apa-apa. Pak Heru tidak berani melakukan hal yang biasa ia lakukan pada Hilmi jika ada Iyan di rumah. Hilmi jadi berspekulasi kalau memang benar Pak Heru hanya memiliki dendam pribadi padanya.

Ah, entahlah. Memikirkan itu hanya membuat kepalanya pening. Jadi lebih baik Hilmi tidur saja, Om Joan juga telah menyuruhnya istirahat di sini. Untung Hilmi sudah menyiasati hal ini jadi ia telah membawa buku pelajaran untuk besok hari.

***

Namun tetap saja hari sial bagi Hilmi seperti tidak ada habisnya. Setelah semalam tidur nyenyak karena berpikir kalau malam itu ia aman dari serangan pak Heru, hari ini laki-laki itu kembali berulah. Ibunya belum pulang, dan saat Hilmi pulang ternyata Pak Heru sudah ada di rumah. Laki-laki itu pun sudah menunggu Hilmi di ruang tamu.

Sungguh hal yang sangat memuakkan bagi Hilmi. Tapi sayang sekali, ia tidak punya nyali yang besar untuk kabur dan memberitahu semua orang kelakuan bejat manusia di depannya ini.

"Dari mana semalam nggak pulang ke rumah?" Hilmi yang gerah membuka maskernya, sengaja memperlihatkan lebam yang sudah memudar di pipinya itu. Seolah menyatakan kalau perbuatannya kemarin lusa masih membekas di sana.

"Nginep di rumah Om Joan." Hilmi masih berusaha menghargai laki-laki di depannya dengan berkata jujur.

"Oh, udah mulai mencoba kabur, ya?! Kamu nggak tahu Ibu kamu khawatir semalaman nyari anaknya yang susah dihubungi, heh!" Hilmi mengembuskan napas kasar.

Hilmi sudah tahu ibunya menghubungi semalam, namun ia memutuskan untuk tidak mengangkat telepon ibunya, mematikan ponsel lalu tidur kembali. Toh, ibunya pasti sudah tahu keberadaannya dari Joan.

"Ibu udah tahu saya di mana semalam." Pak Heru terlihat mulai emosi.

"Memang susah ngomong sama anak jaman sekarang. Kerjaannya jawab aja kalau orang tua kasih tahu. Ibu kamu tuh khawatir anaknya kenapa-kenapa di luar saja dan kamu seenaknya buat Ibu kamu khawatir begitu? Mau jadi anak durhaka kamu, ya?!" Seperti biasa, Pak Heru mulai mengomel tidak jelas. Hilmi ingin mengabaikan, tapi lama-lama rasanya ia jengah.

"Harusnya Bapak ngomong kayak gitu ke diri Bapak sendiri. Lihat siapa yang bikin wajah saya kacau kayak gini? Bapak, kan! Bapak mau Ibu lihat muka saya begini lalu saya jawab kalau ini perbuatan Bapak, nggak kan! Makanya kalau berani berbuat berani bertanggungjawab, jangan bisanya ngelukain anak orang lalu bertindak seperti nggak pernah salah! Manusia kolot!" Hilmi sudah tidak sanggup lagi. Awalnya ia tidak berani melawan, tapi omelan Pak Heru membuatnya turut tersulut emosi.

Sedangkan laki-laki itu semakin emosi, ia bangkit dari duduknya, mengeluarkan ikat pinggang, sembari berkata, "Oh, jadi kamu ngadu kalau habis dipukul saya ke Om-mu itu? Emangnya dia mau percaya sama perkataan bocah ingusan kayak kamu? Makanya kalau nggak mau kena pukul jangan lawan ucapan orang tua! Di sini tuh posisi saya paling tinggi, bocah kayak kamu harusnya dengerin ucapan saya bukan membantah seperti kemarin!"

"Saya bisa laporin perbuatan Bapak bukan cuma ke Om saya, atau ke Ibu, ke polisi pun saya berani kalau Bapak menantang saya!" Hilmi berteriak, ia benar-benar lelah menghadapi manusia ringan tangan seperti pak Heru.

"Beraninya kamu!"

Dengan penuh emosi Pak Heru mengangkat tinggi-tinggi ikat pinggangnya, lalu tanpa basa-basi mendaratkannya pada punggung Hilmi. Sayang sekali Hilmi tidak sempat menghindar dan membiarkan ikat pinggang itu mengenai punggung bagian kirinya.

Panas ternyata, kali ini lebih perih daripada sebelumnya. Hilmi ingin sekali melayangkan tinjauannya pada Pak Heru, namun jika ia sampai berbuat seperti itu, bisa saja Pak Tua di depannya malah bertindak seakan Hilmi yang salah. Maka dari itu Hilmi hanya diam saja, mendapatkan sabetan ikat pinggang itu dua kali. Karena saat ketiga kalinya, Hilmi berhasil menahan tangan Pak Heru. Lalu berbisik ke pada Pak Heru.

"Saya bisa aja kasih bukti laporan ini ke polisi kalau berani pukul saya lagi. Lihat pojok dekat pintu, Ibu sudah masang cctv dari tiga bulan yang lalu." Pak Heru mematung. Ia tidak tahu fakta kalau cctv di rumah ini masih bekerja, sebelumnya. Ia kira cctv itu mati.

Dan sebelum berlalu dari hadapan Pak Heru, Hilmi sempat berdecih. Untung saja ia tidak sampai hati meludahi manusia macam Pak Heru. Seru sekali ternyata membodohi pria tua itu. Cctv di ruang tamu sudah lama mati. Hilmi hanya mengancam saja tadi.

 Hilmi hanya mengancam saja tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


01/07/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang