Bab 13 :: Mulai Terlihat yang Sesungguhnya

64 6 0
                                    

Semalam seperti tidak terjadi apa-apa. Setelah Pak Heru menyiram Hilmi dan Hilmi masuk ke dalam kamar tanpa mempedulikan makian yang laki-laki itu layangkan di belakang. Dan baru berhenti ketika ibunya datang. Hilmi tidak berani keluar kamar, ia tidak ingin ibunya melihat kondisinya yang kacau, terkejut tiba-tiba diperlakukan demikian.

Besoknya pun Hilmi bersikap biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi semalam. Pak Heru juga demikian, saat melihat Hilmi berada di meja makan pun, laki-laki itu terlihat biasa saja. Sama seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya diam saja. Dari awal memang Pak Heru tidak dekat dengan Hilmi, juga jarang mengajaknya berbicara, jadi Hilmi memutuskan untuk menutup diri dan diam saja.

"Semalem pulang jam berapa, Nak? Ibu pas pulang kamar kamu udah gelap." Untung saja ibunya masih baik hati, kalau tidak ada ibunya Hilmi sudah akan minggat dari rumah ini.

"Kayaknya jam setengah sepuluh, Bu. Hilmi juga nggak tahu, nggak liat jam."

"Ya, sudah. Nggak papa kalau mau pulang malam, asal kegiatannya jelas dan kasih tahu Ibu dulu." Hilmi mengangguk. Ia paham akan peraturan ibunya.

Sudah dari dulu pun ibunya begitu. Hilmi dan Iyan tidak pernah dilarang begini, begitu. Asal alasan dan kegiatan yang dilakukan jelas, Hana tidak akan melarang. Apalagi jika mengerjakan tugas sekolah, Hana sekalipun tidak pernah melarang.

Hilmi menunduk saja dan fokus dengan makanannya. Ia tidak berani menatap wajah ibu dan juga ayah tirinya itu. Kejadian semalam masih membekas di benaknya. Ia masih terkejut dan juga takut, tapi di sisi lain Hilmi juga tidak bisa berkata jujur pada siapa-siapa. Harapannya sekarang hanya satu, tindakan seperti semalam hanya sekali itu saja, setelahnya Pak Heru bisa bersikap lebih lunak padanya.

Di sisi lain juga, Hilmi merasa kesal. Kesal karena tidak ada satu pun orang yang percaya kalau Pak Heru bisa melakukan hal demikian pada siapa saja di rumahnya, dengan dalih melanggar aturan yang ia buat sendiri. Sekarang terbukti benar kalau Pak Heru adalah orang yang emosional, tapi sayang, Hilmi tidak bisa melakukan apapun selain diam. Ia masih yakin, kalaupun Hilmi berbicara, semuanya tidak akan percaya.

🌌🌌🌌

"Ngapa lo lesu banget, Hil." Hilmi sampai dengan selamat di sekolah. Sayangnya, wajahnya yang kusut selalu diketahui dengan mudah oleh Dani.

"Nggak papa. Capek aja, sih."

"Lo pasti stress banget tinggal bareng sama bapak tiri modelan Pak Heru. Ngaku, lo pernah diapain aja sama dia?" Rizal bergabung bersama mereka.

"Lo ngomong kek gitu berasa gue udah diapa-apain aja, Anjir!" Hilmi tertawa, meski benar apa yang Rizal katakan, Hilmi hanya menertawakan bahasa yang cowok itu gunakan.

"Ye, bukan gitu maksudnya. Maksud gue tuh, lo pernah dikasarin nggak?"

Hilmi menggeleng, meski berbohong ia tetap harus terlihat baik-baik saja. "Kagak ada kayak begitu, itukan cuma bentukan beliau pas di sekolah aja. Di rumah mah nggak gitu."

"Gimana rasanya punya Bapak lagi, Hil? Udah mau sebulan, nih. Anak-anak juga udah pada tahu lo jadi anak Pak Heru, anjir! Pada heboh kan mereka Minggu kemaren." Dani ikut mengompori.

"Biasa aja. Gue tetep berasa nggak punya Bapak, sih."

Bercandaan Hilmi yang seperti itu menuai ledekan dari teman-temannya. Mereka tidak paham apa yang sedang terjadi di rumah Hilmi, karena mereka pun jadi jarang mampir ke rumahnya ketika Pak Heru menjadi bagian dari keluarga Hilmi. Mereka berdua lebih menyayangkan karena sejak ibunya menikah, Hilmi jadi jarang bergaul dengan mereka, tapi tak apa, selama Hilmi masih bisa bermain bersama meski jarang, Danu dan Rizal sudah merasa cukup.

🌌🌌🌌

Sialnya bagi Hilmi, saat pulang sekolah, Hilmi masih berdua dengan Pak Heru di rumah. Padahal Hilmi sengaja pulang sekolah lebih telat dari biasanya, agar sang ibu pulang tepat ketika ia pulang ke rumah. Namun saat memarkirkan motornya, Hilmi hanya melihat motor Pak Heru, tidak ada tanda-tanda ibunya kembali karena sepatunya pun tidak ada di depan rumah.

"Mulai berani pulang telat, ya?" Hilmi baru saja membuka pintu dan wajah yang paling tidak ingin ia lihat muncul di ruang tamu dengan raut muka tidak bersahabat.

"Masih ada kegiatan ekskul tadi." Hilmi hanya mencari alasan. Ia hanya ikut ekskul futsal, dan itupun bukan hari ini kegiatannya.

"Jangan bohong! Saya tahu jadwal ekskul kamu bukan hari ini!"

Hilmi jengah, ia ingin sekali membantah dan marah pada orang di depannya ini. Namun jika Hilmi melakukannya, ia yakin ia akan habis setelahnya. Hilmi masih belum seberani itu untuk melawan Pak Heru yang kesabarannya seperti tisu dibelas tujuh alias tipis sekali.

"Saya ngerjain tugas, Pak. Ini buktinya kalau Bapak nggak percaya." Hilmi memang sejak awal menenteng sebuah kresek berisikan cat minyak, beberapa kuas dan buku sketsa. Sebenarnya ia berbohong, hanya saja memang Hilmi baru keluar dari toko alat tulis, membeli perlengkapan tugasnya.

"Ya sudah, kamu masuk, mandi terus istirahat. Saya nggak mau lihat kamu keluyuran nggak jelas seperti semalam. Mau dikata apa sama tetangga sebelah kalau lihat kamu pulang malam masih pake seragam begitu."

Tetangga sini juga masa bodoh dengan itu kali, cuih. Hilmi kesal sekali dalam hatinya.

Meskipun kesal Hilmi tetap mengangguk, lalu masuk ke kamarnya. Ia memang melaksanakan apa yang laki-laki itu suruh, tapi meski tidak disuruh pun Hilmi pasti akan melakukannya. Sok perhatian begitu tetap tidak akan mendapatkan simpati apapun dari Hilmi. Lihat saja nanti, suatu saat Hilmi pasti akan membongkar kelakuan aslinya.

Saat tengah mengisyaratkan badan sembari bermain games online bersama teman-temannya, pintu kamar Hilmi diketuk. Pelakunya pasti bukan ibu, Hilmi paham bagaimana ketukan pintu ibunya. Dengan berat hati Hilmi membuka pintu kamar, di depannya Pak Heru menjulurkan selembar uang.

"Beliin rokok yang biasa saya beli."

Astaga, Hilmi mana paham rokok yang biasanya laki-laki itu beli. Setelah semalam menyiramkan tanpa rasa bersalah dan ungkapan maaf, Pak Heru malah menyuruh Hilmi membeli rokok. Sungguh membuatnya kesal.

"Rokok yang mana, Pak?"

"Kamu nggak tahu rokok yang biasa saya beli? Rokok yang ini, bawa aja." Laki-laki itu memberikan bungkus rokok pada Hilmi.

Hilmi pun berangkat dengan perasaan jengkel.

🌌🌌🌌

"Apa-apaan ini? Kalau nggak ada tuh nggak usah dibeli! Kamu ini cowok nggak bisa apa-apa. Kalau rokok kayak gini saya nggak mau, buang-buang duit aja." Pak Heru menggeplak tangan Hilmi saat sedang memberikan rokok yang baru saja ia beli.

Sumpah demi apapun Hilmi tidak tahu di mana tempat Pak Heru biasa membeli rokok itu. Hilmi sudah mencari ke berbagai tempat, tetap tidak menemukannya. Ia tidak kesal dengan apa yang Pak Heru ucapkan, karena memang laki-laki itu selalu mengomel kapan saja dan di mana saja kecuali saat ada ibunya. Hilmi kesal saat tangannya digeplak, tidak sakit, tapi menurutnya itu tetap menandakan sebuah kekerasan.

Ini yang kata keluarganya menggunakan kekerasan hanya untuk mendisiplinkan muridnya yang nakal? Apakah Hilmi juga termasuk di dalamnya? Hilmi tidak habis pikir.

Ini yang kata keluarganya menggunakan kekerasan hanya untuk mendisiplinkan muridnya yang nakal? Apakah Hilmi juga termasuk di dalamnya? Hilmi tidak habis pikir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


26/06/24

Hilmi Untold Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang